Ancaman MIFEE bagi Rakyat Papua -->

Advertisement

Ancaman MIFEE bagi Rakyat Papua

Rabu, 08 Juni 2011



Dengan dalih mengatasi krisis pangan nasional dicanangkan sebuah program yang bernama food estate. Pemerintah rezim fasis kolonial SBY-Budiono telah membuat sejumlah payung hukum yang dianggap penting untuk melegitimasi segala bentuk perampasan tanah milik rakyat Papua, tujuanya tidak lain, memberikan keleluasaan bagi pemodal di Indonesia (investor Indonesia) dan koorporasi asing (negara –negara Imperialis) untuk memonopoli lahan di Papua dengan alasan menangani masalah krisis ketahanan pangan.

Untuk melegalkan perampasan tanah milik rakyat Papua, dibuatlah payung hukum diantaranya adalah UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No.26/2008 tentang RTRWN serta Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Instruksi Presiden No 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Memasuki Tahun 2010 kemarin, Kementerian Pertanian  Indonesia merancang peraturan pemerintah (PP) tentang food estate atau pertanian tanaman pangan dengan skala sangat luas. Sebelumnya, persoalan ini sudah dimasukkan dalam Perpres No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka (berbagai sumber).

Program Food Estate sendiri merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Secara sederhana konsep Food Estate layaknya perkampungan industri pangan.

Peta Investasi dari BAPINDA thn 2010 (sumber: awasmifee.potager.org). 


Saat ini diperkirakan ada 7,13 juta hektar lahan yang dianggap terlantar yang menjadi incaran perampasan rezim Fasis SBY. Kabupaten Merauke, Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang dipandang layak untuk diberlakukakan program food estate dengan lahan seluas 1,6 Juta ha.

Program Merauke Integrate Food and Energy Estate (MIFEE) sendiri secara resmi telah dicanangkan oleh bupati, Jhon Gluba Gebze pada perayaan HUT kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010 lalu. Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta ha, terdiri dari lahan basah sekitar 1,937 juta ha dan lahan kering 554,5 ribu ha. Bahkan lahan yang ada hampir semua datar, sehingga cocok untuk usaha pertanian skala luas. Sedangkan lahar sekitar 1,63 juta ha yang potensi untuk pengembangan food estate. Dari luasan itu, ada sekitar 585.000 ha lahan areal penggunaan lain (APL) yang sudah mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan.

Beberapa distrik di Merauke merupakan kawasan sentral produksi. Untuk tanaman padi berada di Merauke, Semangga, Kurik, Tanah Miring, Okaba dan Kimaam. Komoditi kedele berada di Jagebob, Malind, Muting, Elikobel, Okaba dan Kimaam. Sedangkan jagung di distrik Semangga, Jagebob, Muting, Elokobel, Okaba, dan Kimaam.

Kabarnya, untuk mendukung program Merauke Food Estate akan ada 36 investor yang menanamkan modalnya di Merauke. Sekitar 28 di antaranya adalah milik kaum pemodal Indonesia dan sisanya adalah koorporasi asing. Beberapa perusahan besar telah mulai beroperasi sejak bulan Mei 2010.

Misalkan, perusahan milik Prabowo Subianto, PT Kertas Nusantara yang memperoleh lahan investasi paling besar yakni; 154.943 ha Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahan ini hadir dengan surat rekomendasi 522.1/2700 tanggal 23-10-2008. Secara khusus perusahaan ini bergerak dibidang pembuataan kertas dan bubur kertas, kantor pusatnya berada di Menara Bidakara, Jakarta Pusat. Daerah operasi mereka meliputi beberapa distrik, seperti Ngguti, Okaba dan Tubang. Kehadiran PT Kertas Nusantara sendiri sudah tentu akan membuka hutan yang cukup besar, dikhawatirkan akan terjadi konfiik antara rakyat setempat dengan pihak perusahan.

Selain itu, Medco Group perusahan milik Arifin Panigoro melalui anak usaha PT Medco Papua Industri Lestari telah menanamkan investasinya juga di Merauke. Kehadiran mereka dengan surat rekomendasi No.522.2/415 Tanggal 18-02-2010, beroperasi di Distrik Kaptel dan Ngguti. Lahan yang akan dibuka untuk energi biomassa (industri produksi energi) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebesar 169.000 ha.

Medco Group dan Arifin Panigoro hadir dengan tiga misi utama yakni; memperluas eksplorasi, meningkatkan produktifitas lapangan yang sudah ada, serta, memperketat balancing portfolio. Medco Group sudah tentu akan beroperasi dalam waktu yang cukup lama di Merauke.

Tidak ketinggalan, Keluarga Wiliam Soeryadjaya yang juga pernah menjadi orang nomor dua terkaya di Indonesia menanamkan investasinya di Merauke. PT Agro Lestari dengan anak perusahan PT Papua Agro Lestari sendiri bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Perusahan ini mendapat lahan operasi seluas 39,8 ha, dengan surat keputusan. No 08 tanggal 16 Januari tahun 2007. Wilayah operasi mereka meliputi sebagian besar Distrik Ulilin.

Selain ketiga pemodal diatas, masih ada beberapa investor Indonesia lagi yang menanamkan investasinya di Merauke berskala besar, sebut saja Tommy Winata pemilik Kelompok usaha Artha Graha Network melalui anak usahanya PT Sumber Alam Sutera (SAS), kemudian Aburizal Bakrie dari kelompok Bakrie Group dan beberapa lagi.

Kehadiran program Food Estate di Merauke hanya sebuah kedok dibalik skema besar Imperialisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara Imperialis sangat diuntungkan dengan penggunaan biofuel (minyak sawit) untuk menggantikan bahan bakar fosil (mineral dan galian), karena biofuel ramah lingkungan. Juga bahwa pasar minyak sawit mentah (crude palm oil) harganya sangat kompetitif di pasar dunia di banding petroleum. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 – 6.000 kg minyak mentah. Harga minyak ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD perbarel. Bandingkan dengan harga minyak mentah (petroleum) yang hanya mencapai 70 USD perbarel. Pada tingkat ASEAN, negara yang dapat menyaingi Indonesia (2,9 juta hektar) dalam minyak sawit hanya Malaysia (3,3 juta hektar) di tahun 2003 (berbagai sumber). Selain itu perkebunan kelapa sawit yang juga menghasikan minyak pelumas yang berguna untuk menggerakan barang-barang otomotif dari industri kapitalis dengan menjadikan rakyat Papua sebagai pasar dengan harga yang mencekik hidup sebagian besar rakyat Papua.

Pembagian lahan diantara investor ini secara jelas telah mengklaim dan memiliki kendali kepemilikan atas Tanah dan mengeser rakya Papua di Merauke dari tempat tumpuan hidup mereka yang selama turun temurun digunakan sebagai sumber mata pencahariannya. Kehadiran MIFE sudah tentu akan menggusur hak-hak hidup rakyat Papua, hutan dan budaya masyarakat setempat. Banyak pengalaman pahit yang telah dilalui rakyat Papua, dan pengurasan isi-bumi dan perampasan tanah adat Papua  justru makin meyakinkan bahwa bersama Indonesia adalah bukan solusi.