Dakwaan Forkorus Yaboisembut Bukti Ketidakmampuan Indonesia Urus Papua -->

Advertisement

Dakwaan Forkorus Yaboisembut Bukti Ketidakmampuan Indonesia Urus Papua

Minggu, 22 Januari 2012




Forkorus Yaboisembut, S.Pd yang sudah didaulat dan dipilih sebagai Presiden Negara Republik Federasi Papua Barat [NRFPB] pada Kongres Rakyat Papua [KRP] III 19 Oktober 2011 yang lalu pada Senin depan [30/01] bersama keempat rekannya, yaitu Edison Waromi [Perdama Menteri NRFPB], Selpius Bobii [Ketua Panitia Pelaksanan KRP III], August Makbrawen Sananay Kraar,S.Pd serta Dominikus Sorabut akan dihadapkan pada persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jayapura.

Mereka dituduh atau didakwa dalam Surat Dakwaan Nomor Register Perkara Nomor : PDM 457/JPR/Ep/2/12/2011 tanggal 16 Januari 2011 dengan dakwaan tunggal, yaitu perbuatan mereka pada terdakwa tersebut diatur dan daincam pidana dalam pasal 106 KUHPidana juncto Pasal 44 ayat [1] ke-1 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat [1] ke-1 KUH Pidana juncto pasal 53 ayat [1] KUH Pidana.
Pasal 106 KUH Pidana selengkapnya berbunyi : "Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama dua puluh tahun". Sedangkan pasal 55 ayat [1] ke-1 KUH Pidana merupakan pasal yang menunjukkan bahwa tuduhan perbuata pidana yang dilakukan para terdakwa ini adalah dilakukan secara bersam-sama. Dimana ada yang melakukan, ada yang menyuruh melakukan dan ada yang turut serta melakukan perbuatan pidana tersebut. Sementara pasal 53 ayat [1] KUH Pidana diletakkkan did alam surat dakwaan karena mungkin Jaksa masih ragu apakah perbuatan pidana yang dilakukan Forkorus Yaboisembut, dkk ini sudah selesai ataukah masih merupakan Percobaan melakunan tindak pidana menurut KUH Pidana tersebut.

Setelah mengetahui bahwa Fokorus Yaboisembut, dkk akan disidangkan dengan dakwaan seperti itu di Pengadilan Negeri Jayapura, maka sebagai Advokat Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua saya menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sekali lagi menunjukkan kepada semua Orang Papua dan Masyarakat Internasional bahwa Pemerintah Indonesia Tidak Mampu Mengurus Orang Papua dan Tanah Leluhurnya ini sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini.

Kenapa demikian ? Karena ada 3 [tiga] alasan, yaitu :

Pertama,
sebenarnya jika dilihat dari awalnya, Selpius Bobii sebagai Ketua Panitia Pelaksana bersama masyarakat Papua sudah memberitahukan tentang rencana penyelenggaraan KRP III ini kepada Presiden RI DR.H.Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, dan tidak pernah ada pernyataan negara untuk melarang hal itu. Bahkan justru aparat keamanan di Jayapura diturunkan dalam jumlah cukup besar untuk mengkawal kegiatan tersebut.

Kedua, Pada hari pertama sewaktu terjadi pentas tari dari Grup Sampari Pimpinan Noak Baransano yang mementaskan tarian dan salah satu penarinya melambai-lambaikan selembar Bendera Bintang Pagi [The Morning Star] dan disertai aplaus dan tepuk tangan dari Forkorus Yaboisembut, Edison Waromi dan lainnya dalam acara pembukaan, kenapa Kapolresta Jayapura AKBP Imam Setyawan, SIK dan jajarannya tidak mengambil tindakan sesuai prosedur hukum? Seharusnya Selpius Bobi, Forkorus, dan juga Noak Baransano dipanggil waktu itu [16/10/2011] dan dimintai keterangnnya dan jika terdapat bukti melanggar hukum maka ditindak.

Ketiga, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh aparat gabungan keamanan waktu itu [19/10/2011] terhadap massa yang masih berada di lapangan Zacheus Missi Katolik - Padang Bulan - Abepura, sehrausnya tidak perlu terjadi dan terkesan sangat berlebihan dan nampak merupakan bentuk tindakan arogansi dan kehendak pribadi AKBP Imam Setyawan,SIK selaku Kapolresta Jayapura waktu itu yang seperti mencari popularitas bahwa dia bisa menindak orang-orang yang dituduhnya separatis secara sempit belaka.

Menurut saya selaku bahwa sangat baik dan terhormat, jika keeesokan harinya atau hari itu juga Polisi mengirimkan surat panggilan kepada Selpius Bobi, Forkorus Yaboisembut dan juga Edison Waromi untuk menghadap sebagai saksi dan atau tersangka untuk diperiksa dengan tuduhan telah diduga melakukan tindak pidana Makara berdasarkan ketentuan hukum pidana Indonesia. Sehingga dapat dihindari adanya penggunaan anasir kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan secara langsung mendapat sorotan bahkan cibiran masyarakat Internasional dan juga Orang Papua bahwa pemerintah Indonesia dan institusi keamanannya hanya "jago pakai kekerasan" tapi tidak bisa memakai otak dan akalnya untuk mengelola sebuah persoalan sosial-politik yang terjadi dan berupaya secara intelek mencari solusi yang terbaik terhadap masalah tersebut bersama pemerintah daerah terutama dan semua komponen masyarakat sipil, termasuk kelompok-kelompok perjuangan Papua Merdeka di atas Tanah ini yang sudah seringkali dikenal dan diketahui bahkan sudah saling berkomunikasi secara baik selama ini.

Selain itu, sangat ironis dan memalukan Negara dan Bangsa ini, bahwa pelaku-pelaku kejahatan negara atau kejahatan kemanusiaan seperti AKBP Imam Setyawan,SIK cuma dihukum dengan hukuman disiplin secara internal dalam korps kepolisian dan tidak dipidana sebagai pelaku kejahatan HAM Berat menurut Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Menurut saya, Komnas HAM Papua tapi juga terutama NGO HAM di Tanah Papua perlu segera menggunakan mekanisme hukum internasional yang ada untuk melaporkan AKBP Imam Setyawan, SIK dan juga Dandim 1702 Jayapura serta Komandan Brimob Polda Papua sebagai Pelaku Kejahatan Kemanusiaan kepada Mahkamah Internasional di Den Haag-Kerajaan Belanda untuk ditetapkan sebagai Penjahat Kemanusiaan dan setiap saat bisa ditangkap dan diadili disana. Khusus bagai AKBP Imam Setyawan,SIK dia sudah dua kali terlibat melakukan kejahatan kemanusiaan, pertama dia merobek perut dari Yawan Wayeni dengan bayonet setelah tertangkap karena dituduh terlibat tindak pidana makar semasa Imam menjawab Kapolres Yapen dan kedua dia menjadi otak pelaku penyerangan warga sipil pasaca KRP III yang menewaskan 6 [enam] warga sipil dan ratusan lainnya luka bahkan ada yang hilang.

Saya memandang bahwa tindakan AKBP Imam Setyawan, SIK dan jajarannya dan tindakan hukum yang dialaminya menunjukkan jelas-jelas kepada dunia bahwa IMPUNITAS tetap berlangsung di Negara Hukum Republik Indonesia dan khusus di Papua dengan menggunakan label separatis dan makar, aparat keamanan negara bisa bertindak sewenang-wenang dan sistematis membunuh secara biadab rakyatnya sendiri dan kemudian tidak dihukum sesuai aturan dan mekanisme hukum nasional yang sudah ada dan berlaku.