MATINYA DEMOKRASI DI INDONESIA -->

Advertisement

MATINYA DEMOKRASI DI INDONESIA

Kamis, 19 Januari 2012

Dalam ruang yang sempit ini, pembicaraan mengenai pelanggaran HAM di Papua atau legalitas PEPERA tahun 1969 ditanggapi sebagai indikasi makar dan ancaman terhadap NKRI. Opini publik mengenai Papua dibayang-bayangi oleh peristiwa lepasnya Timor Timur dan sikap anti asing. Ketidakadilan dan peristiwa - peristiwa kekerasan diabaikan atas nama kesatuan bangsa, sementara kelompok - kelompok masyarakat yang menyuarakan keprihatinan terhadap kekerasan atau mendukung hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dicap sebagai antek asing. Menariknya, opini publik dan pemerintah pusat mendukung hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa menyadari bahwa ada masalah yang tidak kalah serius di halaman rumah sendiri. Ini menunjukan bahwa masyarakat sebenarnya mampu melihat sisi -sisi lain dari tuntutan kemerdekaan entah itu Palestina maupun Papua, namun bahasa politik yang tersedia bagi diskusi ini di tanah air tidak tersedia.

Kesempitan bahasa politik rupanya juga berujung pada pembatasan kebebasan politik. Kebebasan berpendapat yang semestinya dijamin oleh hukum seolah-olah tidak berlaku ketika berhadapan dengan persoalan Papua.Orang-orang Papua tidak menikmati kebebasan politik yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain.

Ketika orang Yogyakarta ramai-ramai menyuarakan perlawanan terhadap kebijakan Jakarta yang dianggap menganggu keistimewaan daerah ini, reaksi pemerintah pusat sangat lunak. Pemerintah juga tidak banyak bertindak ketika beberapa kelompok masyarakat terang-terangan secara publik menyatakan tujuan organisasinya untuk mendirikan negara agama di Indonesia, agenda politik yang intinya membubarkan negara ini dan bukan hanya melepaskan diri dari negara. Di sisi lain, ketika hal yang sama disuarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat Papua, entah itu pemuda, perempuan, gereja. atau kelompok adat, mereka dituduh separatis atau makar.

Pada bulan Juli 2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 154 dan 155 KUHP yang dulu biasa dipakai untuk menindak para aktivis dan membatasi kebebasan berbicara adalah inskonstituonal. Penghapusan pasal-pasal karet mengenai perbuatan penyebaran kebencian kepada pemerintah ini mendorong kemajuan demokrasi. Tetapi mesti diingat bahwa saat ini ( Juli 2010), masih ada 34 orang tahanan politik yang meringkuk di penjara-penjara di Papua karena di tuduh makar. Sebagian di antaranya digelandang ke penjara begitu saja hanya karena membawa atau mengibarkan bendera Bintang Kejora ( Media Indonesia. 9 Juli 2010).

Demokrasi Indonesia jelas kewalahan menangani persoalan Papua. Mekanisme politik yang baru belum berhasil mendekatkan proses pengambilan keputusan yang menentukan hidup rakyat banyak ke warga asli Papua kecuali di atas kertas. Kendali politik dalam banyak hal masih berada di tangan Jakarta dan belum akan di lepas untuk masa-masa yang akan datang. Kehadiran militer yang masif dan sempitnya ruang politik untuk dialog yang jujur semakin membatasi kemungkinan untuk mencari solusi yang memadai bagi persoalan Papua. Akibatnya, rakyat Papua akan terus merasa menjadi orang asing di atas tanah mereka sendiri dan kebijakan -kebijakan pembangunan akan dianggap sebagai bentuk arogansi Jakarta.

Papua adalah cermin yang jujur bagi perjalan demokrasi di Indonesia. Ia menggugah kita dari kebanggaan semu ketika menepuk dada sebagai negara demokrasi besar. Kegagalan yang paling mendasar adalah bawah ternyata kita belum bisa mendengarkan suara rakyat Papua dan memahami harapan-harapan mereka yang sesungguhnya.