Kepentingan Modal Internasional dan kekuatan Militer di Papua -->

Advertisement

Kepentingan Modal Internasional dan kekuatan Militer di Papua

Senin, 20 Februari 2012

Di masa pemerintahan SOEKARNO, kepentingan  modal internasional sangat terganggu dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia. Situasi ini menjadi penghalang bagi masuknya modal di Indonesia, maka tidak ada jalan lain kecuali kekuatan penghalang itu harus dihancurkan, maka dicarilah sekutu sekaligus agen yang akan melaksanakan tugasnya tersebut, dipilihlah militer sebagai sekutu dan  agennya. Terjadilah pergantian kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965, naiklah sang diktaktor Soeharto mewakili kekuatan militer yang menjadi agen dari modal  Internasioanal. Setelah tumbangnya Sukarno, babak baru eksploitasi dan membuat kesepakatan untuk perputaran modal internasional maka dengan kekuatan militer me-represif dan memanipulasi PEPERA Tahun 1969.

Perlahan dibawah Orde Baru (Orba), Indonesia memasuki era keterbukaan terhadap modal Internasional.  UU Penanaman Modal Asing (PMA) dengan mudah diundangkan oleh Soeharto pada tahun 1967. Mulailah aliran dana luar negeri diinvestasikan di Papua. PT.Freeport berdiri, mengeruk kekayaan alam Papua, dan berbagai macam perusahaan nasional maupun asing lainnya. Lembaga-lembaga Internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) yang dikendalikan para pemilik modal besar Amerika Serikat dan sekutunya mulai mengatur ekonomi Indonesia dalam sebuah kerangka ekonomi liberal “pembangunanisme”. Papua memasuki era baru, neo-kolonialisme ( Penjajahan baru di bidang ekonomi ) dengan kepanjangan tangannya Orde baru.

Bersama kekuatan militer, Orde Baru mengambil alih semua perusahaan-perusahaan asing di Papua ke tangan militer dan pengusaha-pengusaha dari birokrasi. – hak erfpacht (Guna Usaha) perusahaan dialihkan ke militer, perkebunan milik negara, militer, dan swasta di kontrol oleh jaringan keluarga Soeharto. Sekarang Papua telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem perekonomian modal internasional yang tetap dipertahankan hingga massa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
 

Kepentingan modal internasional dan militer (TNI/POLRI) dapat terlihat dengan sejak Freeport mulai beroperasi di wilayah Timika Papua, masyarakat adat dan buruh sering diintimidasi bahkan nyawa menjadi taruhan dalam  konspirasi jahat yang tidak pernah di usut tuntas. Saat buruh freeport melakukan mogok kerja disinilah secara transparan kekuatan militer digunakan untuk memprovokasi, intimidasi bahkan melakukan penembakan terhadap rakyatnya sendiri sehingga menelan korban jiwa. Peristiwa penembakan misterius  pada tanggal 21 oktober 2011 terhadap di mile 40 terhadap 2 pendulang lokal dan satu karyawan PT freeport menjadi tanda tanya yang tidak terungkap, peristiwa seperti ini  pernah terjadi sebelumnya.

Semua kondisi tersebut diatas menggambarkan peran militer sangat vital dalam mengamankan semua aset modal internasional dengan mengintimidasi dan menutup semua ruang demokrasi bagi  aktivitas kehidupan masyarakat adat papua. Otonomi Khusus yang diharapkan dapat mengatur semua kebijakan pemerintahan Pusat dan daerah ternyata hanya sebatas undang-undang yang tidak memiliki solusi yang jelas dan tegas.

Situasi ini menjadikan Rakyat Papua mulai menemukan  bentuk perlawanan-perlawanan baru yang lebih bermartabat baik melalui aksi-aksi Damai  di jalan maupun konsolidasi kongres Rakyat 3 seperti yang  terjadi pada tanggal 16-19 oktober 2011 di jayapura. Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat dimuka umum yang diatur dalam undang-undang dasar 1945 ternyata hanya menjadi kata-kata mutiara yang kosong terbukti dengan menggunakan kekuatan gabungan TNI/POLRI melakukan tindakan brutal dengan menyerang dan menembak serta menganiaya Rakyat Papua yang di arena lokasi kongres, mengakibatkan 6 orang tewas, puluhan mengalami luka-luka dan ratusan orang di tangkap dan di intimidasi. Pola kekerasan ini menunjukka watak dan kebijakan pemerintah Pusat sama sekali tidak mengalami perubahan bahkan tindakan  kekerasan militer yang di lakukan lebih terstruktur dengan pola yang lebih rapi.

Peristiwa demi peristiwa kekerasan militer di Papua menggambarkan ketidakseriusan dan  merupakan pembiaran yang dilakukan oleh Negara terhadap rakyat sipil di Papua.