Ketika Negara Jadi Budak Freeport -->

Advertisement

Ketika Negara Jadi Budak Freeport

Senin, 10 Agustus 2015




Sejak Rezim Orde Baru Pemerintahan Soeharto tahun 1967 - 2015, PT.Freeport Indonesia telah bercokol selama 48 tahun di Gunung Nemangkawi (Erstberg dan Greesberg) menguras isi bumi cendrawasih. Proses masuknya Freeport sejak awal sama sekali tak melibatkan orang Papua sebagai pemilik hak ulayat yang merujuk pada anti-demokrasi. Praktek anti-demokrasi Indonesia era Orde Baru turut melahirkan masalah sejarah politik Papua yang belum usai. 

Kontrak Karya (KK) I dengan Rezim Orde Baru dilaksanakan pada 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg beroperasi pada bulan Desember. Dengan dasar Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.

Proses penandatangan ini KK I merupakan ilegal karena terjadi dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun belum mengakui Papua sebagai wilayah resmi secara de-jure Indonesia.

Saat ini aktivitas eksploitasi dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun KK II ini pun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.

Praktek busuk sudah dan terus terulang dari rezim ke rezim penguasa Republik Indonesia. Hingga pada era Presiden Joko Widodo yang merubah KK menjadi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), setelah Tahun 2011 rezim Susilo Bambang Yudhoyono menyusun nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang berisi rencana memperpanjang kontrak Freeport, yakni dua kali 10 tahun atau 20 tahun sesuai dengan permintaan Freeport. Ini artinya, kontrak karya Freeport tidak akan habis pada tahun 2021, tetapi diperpanjang hingga tahun 2041. Namun menurut Peraturan Pemerintah (PP_ Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, disebutkan bahwa perpanjangan Kontrak Karya diajukan paling cepat dua tahun atau paling lambat enam bulan sebelum kontrak berakhir. Atas peraturan ini, maka sudah seharusnya perusahaan afiliasi Freeport-McMoran, harus mengajukan perpanjangan kontrak paling cepat di tahun 2019.

Dari beberapa proses renegosiasi kontrak karya Freeport, semuanya memiliki masalah yang akut. Maka seharusnya rakyat Papua diberi kebebasan menentukan nasibnya sendiri atas kedaulatan tanah-air Papua dan tidak lagi mengumbar “Papua For Sale” kepada asing.

Source: lovepapua.com