Papua Merdeka Setelah Generasi Muda Sekolah Baik-Baik -->

Advertisement

Papua Merdeka Setelah Generasi Muda Sekolah Baik-Baik

Kamis, 01 September 2016



Tak sengaja saya melihat sebuah postingan dari seorang kawan asal Papua juga di facebook, menurutnya "Papua Merdeka setelah sekolah baik-baik". Sebenarnya saya tidak begitu ambil pusing, cuma agak mengganggu karena yang menulis postingan itu adalah seorang mahasiswa Pasca Sarjana yang juga calon magister di salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa.

Ya.. postingan itu mengganggu ketenangan saya... karena bukankah seorang mahasiswa itu harus terdidik? terdidik dalam menanggapi segala masalah sosial maupun politik. Tugas mahasiswa menurut Tokoh Pembebasan dari Latin, Paulo Freire adalah melibatkan diri adalah sumber pengetahuan. Melibatkan diri dalam persoalan Papua, tak berarti harus turun ke jalan untuk memimpin demontrasi atau masuk hutan angkat senjata, tetapi sebagai mahasiswa yang terdidik. Misalkan dengan meneliti dan mencari akar persoalan Papua. 

Yermias Degey, seorang jurnalis asal Meeuwo menulis di kompasiana.com tentang gerakan perubahan mahasiswa dan pendidikan tinggi[1]. Dalam tulisannya menjabarkan problematika mahasiswa papua dari sejarah hingga pentingnya menulis dan membaca. Salah satu yang membuat saya tak pernah bosan baca ulang adalah soal penelitian yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa Papua, terlebih lagi seperti mahasiswa Pasca Sarjana.

Bicara soal meneliti adalah sepertinya berat bagi kami mahasiswa Papua seperti mahasiswa Pasca itu kwkwkwkwkwk, apalagi baca buku. Hingga hari ini saya sendiri belum bisa menemukan blog mahasiswa yang sering membahas isi buku, ataupun tentang pendidikan yang diterima di bangku studi. Dan menurut saya,  kurang baca buku ini bukan kemunduran tapi kemajuan yang tak terkontrol, akibat dari keseringan browsing dan copy-paste seperti kata kawan saya Felix Degei yang yang dalam tulisannya menjelaskan tentang bagaimana gadget membunuh para kutu buku.[2]

Iya, salah gadget.. karena keseringan browsing dan akhirnya memandang segalanya untuk-dari yang disajikan di internet, bukan dari sebuah kebenaran sendiri. Bahkan melihat persoalan perjuangan pembebasan rakyat Papua yang sudah dilakukan dari 1960-an sebagai suatu kesalahan. Dan karena itu kesalahan gadget terletak pada tangan dan otak manusia yang menggunakannya.

Kembali lagi.. Tidak banyak generasi muda saat ini yang menulis buku dari hasil penelitiannya sendiri apalagi mencari sumber kebenaranya itu sendiri. Bisa juga kamu dan saya bagian dari ini, karena ini hanya status sosmed jadi jangan ambil pusing. Tapi setidaknya coba bandingkan mengapa di Jawa dan sekitarnya mendapatkan fasilitas full sedang tidak di Papua??, belum lagi membahas soal kurikulum pendidikan yang kacau. Anak papua disuruh bayangkan kereta api, becak ataupun hal lain yang ada di Jawa, padahal setiap hari lihat gunung, bukit, lembah, pantai dan hewan liar maupun piaraan, belum lagi soal ini ibu budi (tra sepnat ato yakob sekalian k?). Kurikulum seperti ini melanggar Konvensi Internasional menentang Diskriminasi dalam Pendidikan kalo tra salah pasal 4 bagian (b). 

Kita bicara soal sarana dan fasilitas pendidikan pasti akan bicara bahwa dana Otsus sudah banyak mo? nah, karena kamu mahasiswa coba bandingkan dana alokasi setiap provinsi dengan Papua dan Papua Barat, masih sangat kecil... dibandingkan apa yang dikuras Jakarta. Belum lagi bicara soal Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun Dana Alokasi Umum (DAU), Papua bukan prioritas Jakarta bahkan tidak masuk dalam kriteria.

Bahas soal penganggaran pendidikan ini hal baru, karena Operasi Militer di Papua baru berhenti 1998 pasca reformasi yang juga mencabut "status resmi" Daerah Operasi Militer (DOM).  Jauh sebelum itu bisa dikatakan pemerintahan sipil perpanjangan tangan dari Jakarta belum jalan sama sekali, selain menghabisi rakyat kamu hina karena berjuang melawan penjajahan. Mereka belum bisa baca-tulis tapi sadar akan penjajahan. Cobalah sering baca catatan soal pelanggaran HAM di Papua, Komnas HAM sebagai representasi lembaga Hak Asasi Manusia  milik negara Indonesia saja sudah mencatat 44 kali Operasi militer dilaksanakan oleh Pemerintah[3]. Bahkan sebuah laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia Asia mencatat secara detail 4.146 orang Papua dibantai pada dekade 1977-1978 dan ini hanya dalam sekali operasi militer yang dikenal dengan nama "Operasi Koteka".

Nah, buka mata lihat tokoh pembebasan dibelahan dunia lainnya, Lenin, Nelson Mandela, Amilcar Cabral. Atapun jika tidak mau berdiri dipanggung untuk orasi soal sejarah politik Papua yang bermasalah... paling tidak, bisa menginspirasi seperti perempuan pemberani dari Chili yang juga seorang mahasiswi, Camila Vallejo yang berjuang melawan privatisasi pendidikan oleh rezim. Perjuangan pembebasan Papua sama sekali tak perlu diukur dari seberapa banyak yang menjadi sarjana, tetapi lihat berapa banyak yang terdidik berjuang untuk pembebasan nasional yang sejati.

Semoga kita makin banyak baca dan tulis untuk perlawanan.. dan satu lagi... kalo situ bukan mahasiswa Papua, jang komen ato lari ke laut saja.. piss peace 

-----------

[1] http://www.kompasiana.com/yeridegei/gerakan-perubahan-mahasiswa-dan-pendidikan-tinggi-di-tanah-papua_5509d39fa33311206a2e3b62
[2] http://suarapapua.com/2016/07/25/gadget-sedang-membunuh-para-kutu-buku/
[3] http://referensi.elsam.or.id/2014/12/operasi-militer-papua/
dan seterusnya.