Review Film; Bridge Of Spies, Human Loves Human -->

Advertisement

Review Film; Bridge Of Spies, Human Loves Human

Minggu, 05 Maret 2017

Sama sekali tak ingin mengomentari film Birdge Of Spies ini, hanya saja menurut saya cukup menarik untuk dibahas. sekalian tambah isi postingan blog yang terus sepi, kayak kuburan. Lagi pula film ini sudah tayang 2 tahun lalu.

Film ini berlatar pada masa perang dingin hubungan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Yang sepanjang era 1947–1991, kedua negeri adidaya, atau tepatnya Blok Barat dan Blok Timur, berlomba menjadi penguasa dunia alias apa ya?

Tak banyak adegan aksi yang menantang seperti tembak-tembakan, melainkan negosiasi yang cukup alot namun menegangkan. Nah, bagian negosiasi diplomasi yang menurut saya cukup menarik, ini kehebatan sineas Steven Spielberg yang garap film ini buat tak bosan.


Bridge of Spies Trailer: Can Tom Hanks Win the Cold War? (Vanity Fair/IST)

Alur cerita film ini mengisahkan, Uni Soviet mengirimkan mata-matanya, Rudolf Abel (diperankan Mark Lyrance), ke AS namun tak lama ketahuan CIA dan dipenjara dan terancam hukuman mati.

Ditengah ancaman mati terhadap Rudolf, seorang pengacara muncul membela dirinya selayaknya malaikat yang menyelamatkan dari ancaman maut. Pembelaan itu datang dari seorang pengacara yang bernama James B. Donovan (diperankan Tom Hanks). Sekalipun film ini masuk kategori fiksi, tapi Sang pengacara ini ditampilkan sebagai seorang yang menghargai Hak Asasi Manusia. Dalam beberapa percakapan si Pengacara ini terus mengatakan, setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi sebagai manusia, sekalipun mata-mata lawan, Uni Soviet. Hal ini sontak mengingatkan saya pada beberapa Pengacara Indonesia yang cukup konsen terhadap narapidana Politik Papua tanpa melihat tuduhan 'anti-NKRI'.

Keputusan Donovan menjadi pengacara Abel sontak mengundang amarah masyarakat, juga petinggi Negeri Paman Sam. Donovan dinilai salah langkah telah membela musuh terbesar AS pada saat itu. Namun Donovan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Jika di Indonesia pada jaman ini, saya tak membayangkan bagaimana mereka yang nasionalis konsevatif akan mem-bully pengacara ini.

Mengetahui hal ini, pihak pemerintah AS ingin membalas Uni Soviet dengan mengirimkan seorang pilot untuk memata-matai aktivitas tentara Uni Soviet. Pilot itu bernama Francis Gary Powers alias Austin Powell.

Ternyata, Powell pun bernasib sama seperti Abel. Pesawat yang diterbangkannya mengalami nahas: jatuh di tanah Soviet. Sudah pasti ia ditangkap para tentara komunis, dan tidak luput dari ancaman hukuman penjara.

Kedua tahanan Perang Dingin itu, Abel dan Powers, sama-sama menghadapi hukuman mati. Namun berkat otak encer Donovan, nasib mereka kemungkinan dapat terselamatkan. Donovan mengajukan ide gila: pertukaran mata-mata.

Pada saat yang sama, timbul masalah baru. Seorang mahasiswa AS di Jerman ditangkap, juga dengan tuduhan mata-mata. Masalah yang dihadapi Donovan pun kian pelik. Mampukah ia memboyong dua orang AS keluar dari "neraka" negara komunis?

Tugas berat sebagai pengacara—yang dihujat masyarakat serta pemerintahan AS lantaran kesediannya mata-mata Uni Soviet—bukan satu-satunya yang harus dihadapi Donovan. Di rumah pun, ia menghadapi tugas berat sebagai ayah.

Di tangan sang aktor kaliber Oscar, peran Donovan yang serius, mampu dibawakan dengan santai, bahkan sesekali lucu yang mengundang gelak tawa. Sepanjang kisah bergulir, Hanks sering memancing emosi penonton. Ada kalanya ia serius, dan kadang penuh canda.

Karakter kali ini sebagai Donovan di Bridge of Spies sedikit banyak mengingatkan pada karakter Captain Miller di film sebelumnya, Saving Private Ryan di mana ia harus menyelamatkan Ryan dari tentara Jerman.

Sebenarnya alur cerita Bridge of Spies sangat menarik, namun dibagian dapat ditebak, berbeda dengan film Saving Private Ryan yang juga diproduseri oleh Steven Spielberg yang mengejutkan penonton hingga akhir cerita.

Bagian menarik dari film Bridge of Spies adalah efek kamera yang digunakan. Hasilnya, gambar-gambar jadul, seolah film ini dibuat pada era 1950-an. Tidak terlihat jernih, namun justru inilah poin plus yang menegaskan "kejadulan" Bridge of Spies.

Bagian lain yang tak kalah menarik, tentu saja segala properti lawas di film ini, dari alutsista militer, gedung, lanskap, pakaian, kacamata sampai cangkir teh.

Hasil kerja tim properti yang mendukung Spielberg kali ini layak diacungi dua jempol!