Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri -->

Advertisement

Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Sabtu, 21 Mei 2011





Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri 
("Right To Self-Determination") 
Dalam Perspektif Hukum Internasional 
(Studi Kasus Terhadap Kemerdekaan Kosovo)

Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu dunia dikejutkan oleh deklarasi kemerdekaan Kosovo secara unilateral. Mengapa mengejutkan? Paling tidak, hal itu disebabkan oleh dua hal mendasar, pertama, Kosovo secara teritorial merupakan bagian dari negara Serbia yang eksistensinya dan keabsahannya telah diakui oleh komunitas internasional; kedua, secara teori, pendirian negara di dalam negara tidak dimungkinkan, karena hal ini akan bertentangan dengan hukum internasional. Deklarasi kemerdekaan tersebut kemudian menimbulkan polemik, bahkan memicu persoalan baru yang tidak kalah rumitnya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) belum menyatakan sikapnya, karena sikap dari negara-negara yang merupakan Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB terpecah. Amerika, Inggris, Prancis menyatakan mendukung, sementara Rusia dan China menentang. Demikian pula sikap dari negara-negara yang berada di kawasan Kosovo pun tidak seragam, Bulgaria, Kroasia, Hongaria telah menyatakan mendukung, sementara Rumania, Slovakia menyatakan menentang.

Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.”[2] Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.

Masalah kemerdekaan Kosovo atas Serbia merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri; bagaimana legalitas kemerdekaan Kosovo menurut hukum internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui Kosovo sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah pengakuan bagi negara baru.

Makalah ini akan membahas secara singkat sejumlah persoalan menyangkut kemerdekaan Kosovo atas Serbia, serta dikaitkan dengan masalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Pembahasan akan dilakukan dalam perspektif hukum internasional.

Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (“Right to Self-Determination”) dalam Hukum Internasional

Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 90-an, telah memberikan isyarat bagi berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara.[3]

Hal itu terjadi pada negara bekas Uni Soviet yang kini telah terpecah-pecah menjadi 15 negara dengan personalitas hukum yang baru. Termasuk juga apa yang telah terjadi di bekas negara Republik Demokrasi Sosialis Yugoslavia yang kini telah terpecah menjadi lima negara baru seperti Serbia dan Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Macedonia, belum lagi yang terjadi di bekas negara Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceko dan Republik Slovak. Kejadian-kejadian semacam ini sudah tentu bisa menimbukan preseden yang sangat berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup negara, tetapi juga kemerdekaan (“independence”), kedaualatan (“sovereignty”) serta yang terpenting lagi dalah keutuhan wilayah (“territorial integrity”) suatu negara.[4]

Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (“all states”) atau bangsa (“peoples”) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.[5]

Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (“peoples”) dalam rangka menuntut (“claiming”) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (“scope”) dan penerapan dari hak ini.[6]

Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” dan “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.

Menurut Hassan Wirajuda, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan “right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu: 1. “Right to self-determination”, yang merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi); 2. “Right of self-determination”, yang merupakan hak yang bersumber dan merupakan konsekuensi dari “right to self-determination”, yaitu hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (“centrally planned economy” atau “market economy”, liberal atau terkontrol dan terkontrol) atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau urusan dalam suatu negara.[7]

Dengan demikian maka, pelaksanaan “right to self-determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (“state”), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.

Sedangkan, pelaksanaan “right of self-dertermination” dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut misalnya diwujudkan dalam bentuk kebijakan (“policy”) dari negara berupa otonomi daerah dalam berbagai bidang agar penyelenggaraan negara tidak bersifat sentralistik. Contoh lainnya, misalnya, integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara induk (“seccession”) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral (“bilateral agreement”), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara Merdeka (“Commonwealth of Independent Sates”/CIS).

Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar. Kemerdekaan ke dalam (“internal independence”) meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar (“external independence”), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga.[8]

Negara di samping mempunyai hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya (“territorial integrity”) dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak bisa diganggu-gugat (“the inviolability of territories of states”).[9]

Masalah Pengakuan (“Recognition”) dalam Hukum Internasional

Di tingkat internasional adalah sudah lazim apabila suatu negara yang terlebih dahulu eksis memberikan pengakuan atas keberadaan negara atau pemerintahan yang lebih muda usianya. Sebagai contoh, pada masa dekolonisasi, negara-negara yang menjadi korban kolonisasi sangat gencar mencari pengakuan akan eksistensinya sebagai sebuah negara yang tidak kalah berdaulatnya daripada negara-negara eks-koloninya. Namun, dalam praktek, pengakuan lebih banyak diberikan karena kalkulasi yang bersifat politis daripada hukum.[10]

Pada umumnya, para penulis berpendapat bahwa masalah pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Mengenai hal ini, Akehurst berpendapat bahwa pengakuan merupakan salah satu topik yang paling sulit dalam hukum internasional karena merupakan percampuran dari politik, hukum internasional dan hukum nasional. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “Recognition is one of the most difficult topics in internatinonal law. It is a confusing mixture of politics, international and municipal law.”[11] Pengakuan juga dikatakan rumit, karena pada kenyataannya tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum internasional yang mengatur masalah ini, terlebih lagi besarnya pengaruh faktor politik dalam hal pengakuan.

Starke memberikan rumusan pengakuan (“recognition”) secara lengkap sebagai berikut:[12]
“The free act by which one or more States acknowledge the existence on a definite territory of a human society politically organized, independent of any other existing State, and capable of observing the obligations of international law, and by which they manifest their intention to consider it a member of the international community.”
Berdasarkan rumusan di atas, maka pengakuan pada intinya merupakan tindakan yang bersifat bebas dari negara untuk mengakui eksistensi negara lain.

Apakah suatu negara baru yang telah memenuhi syarat masih memerlukan pengakuan dari negara lain? Hal ini sulit untuk dijawab, karena doktrin tidak ada dan praktiknya tidak seragam. Ada pendapat bahwa masalah pengakuan lebih merupakan kebijakan (“policy”) daripada hukum. Menyangkut pengakuan terhadap negara baru dikenal dua teori, yaitu terori deklaratori dan teori konstitutif.

Teori deklaratori beranggapan bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dipenuhi oleh masyarakat politik, maka dengan sendirinya ia merupakan suatu negara yang harus diperlakukan sebagai negara. Jadi hukum internasional harus secara otomatis (“ipso facto”) menganggapnya sebagai negara dengan seluruh hak dan kewajibannya. Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan tentang adanya negara baru dan tidak menciptakan negara baru. Pengakuan benar-benar berfungsi mengakui suatu kenyataan. Starke berpendapat bahwa praktik internasional mendukung teori deklaratori.

Teori di atas sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban negara tahun 1933 yang tidak mensyaratkan adanya pengakuan bagi suatu negara baru. Adapun syarat-syarat bagi negara baru adalah adanya wilayah, adanya penduduk, adanya pemerintahan dan kemampuan untuk melakukan hubungan dengan subjek hukum internasional lainnya. Dalam praktek,[13] akhir-akhir ini, kebanyakan penulis lebih menerima teori deklaratori yang tercermin dalam Pasal 3 dari Konvensi Montevideo, yaitu dikatakan bahwa eksistensi secara politik dari negara tidak tergantung (“independent”) dari pengakuan negara lain (“the political exsistence of the State is independent of recognition by the other States”).

Teori konstitutif berpendapat bahwa sekalipun suatu masyarakat internasional telah memiliki unsur-unsur kenegaraan, tetapi ia tidak secara otomatis dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lain. Suatu negara ada dan menjadi pribadi internasional (“international personality”) hanya dengan suatu pengakuan yang tegas. Mengenai hal ini Starke berpendapat bahwa hanya pengakuan yang dapat menciptkan status kenegaraan atau yang dapat memberikan wewenang atau status bagi pemerintah baru dalam lingkungan internasional.

Banyak keberatan terhadap teori konstitutif, Brierly misalnya menyatakan: bagaimana jika suatu negara baru diakui oleh negara A, tetapi tidak diakui oleh negara B. Dengan demikian negara tersebut untuk negara A merupakan pribadi internasional, sedangkan untuk negara B tidak, sehingga hal ini akan menimbulkan keanehan yuridis.

Menurut penulis, teori yang pertama tampaknya lebih masuk akal dan lebih menjamin kepastian hukum dalam kaitannya dengan status atau kedudukan dari suatu negara baru sebagai suatu pribadi internasional. Oleh karena itu status atau kedudukan dari negara baru, secara yuridis, sesungguhnya tidak digantungkan pada adanya pengakuan. Hal ini dikarenakan, seperti telah dinyatakan sebelumnya, masalah pengakuan pada hakikatnya lebih merupakan aspek politis ketimbang yuridis. Pengakuan lebih merupakan kebijakan (“policy”) dari suatu negara untuk mengakui atau tidak mengakui negara baru. Jadi, eksistensi dari negara tidak tergantung dari ada atau tidaknya pengakuan dari negara lain.

Berkaitan dengan kemerdekaan Kosovo, negara-negara yang telah memberikan pengakuan (“recognition”), yaitu: Jerman, Italia, Prancis, Inggris, Austria, Amerika Serikat, Turki, Albania, Afghanistan. Sedangkan yang menentang, yaitu: Rusia, Spanyol, Rumania, Slovakia dan Cyprus.[14]

Kemerdekaan Kosovo atas Serbia dalam Perspektif Hukum Internasional

Sejak berakhirnya perang dingin, mayoritas konflik yang terjadi di dunia muncul dalam bentuk pertentangan etnis, agama dan konflik yang bersifat lokal. Secara faktual, tatanan dunia dewasa ini ditandai dengan penghancuran suatu negara nasional sebagai akibat dari perang sipil antaretnis.[15]Hal tersebut dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi di belahan Eropa Timur, antara lain, misalnya apa yang terjadi di Republik Federal Yugoslavia, yaitu terjadinya pemecahan negara tersebut sebagai suatu kasus suksesi negara (“state succession”) dan kemudian negara Yugoslavia yang baru hanya terdiri dari Serbia dan Montenegro.

Pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, Parlemen Kosovo secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaannya serta menetapkan Hashim Taci sebagai Perdana Menteri dan Fatmir Sejdiu sebagai Presiden. Kemerdekaan secara sepihak ini, kemudian menimbulkan polemik dan reaksi yang bermacam-macam (pro dan kontra), bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan negara-negara yang duduk sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, padahal, kesatuan sikap sangat dibutuhkan untuk memutuskan status final dari Kosovo.

Di dalam negara Serbia, kemerdekaan Kosovo justru telah menimbulkan masalah baru, yaitu timbulnya gejolak berupa protes hingga aksi kekerasan yang menolak kemerdekaan tersebut. Hal itu, misalnya, terjadi di wilayah yang didominasi oleh etnis Serbia seperti di Mitrovica, di mana dua granat tangan dilemparkan ke sebuah gedung pengadilan PBB dan kemudian meledak. Sementara yang satunya dilemparkan ke arah sebuah rumah misi Uni Eropa yang baru, tapi meleset. Kemudian di Belgrade, para demonstran yang berkisar 1.000 orang telah melempari dengan batu dan merusak jendela-jendela Kedutaan Besar Amerika.[16]

Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90% etnis Albania yang Muslim, 5,3% etnis Serbia yang Katholik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lan. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi oleh Pemerintah Serbia di Belgrade, menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif. Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri “Kosovo Liberation Army” (KLA) melawan pasukan Yugoslavia yang dengan kekuatan militer ingin mencegah Kosovo memisahkan diri. Perang tahun 1996-1998 dapat dihentikan dengan kampanye pengeboman NATO secara besar-besaran terhadap sasaran-sasaran Yugosalvia, dengan tujuan sebagaimana juru bicara NATO “Serbs out, peacekeepers in, refugees back”.[17]

Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999) pada 10 Juni 1999, yang menempatkan Kosovo di bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan “self-government” di Kosovo dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas kasus Kosovo belum ditentukan. Resolusi tidak menyebut bentuk penyelesaian final atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan kedaulatan dan integritas territorial Republik Federal Yugoslavia.[18]

Status final Kosovo dirintis melalui negosiasi yang dimulai tahun 2006 di bawah pimpinan Utusan Khusus Sekjen PBB Martti Ahtisaari, mantan fasilitator Perundingan Helsinki mengenai Aceh. Negosiasi amat alot karena kedua pihak, Serbia dan Kosovo bersikukuh pada posisinya, yakni Serbia hanya bisa menerima otonomi luas bagi Provinsi Kosovo, sedangkan Kosovo hanya bisa menerima kemerdekaan Kosovo. Akhirnya, tanggal 26 Maret 2007, kepada Dewan Keamanan PBB, Ahtisaari melaporkan, perundingan mengalami kemacetan. Namun, ia menyampaikan draf penyelesaian status Kosovo yang mengusulkan agar Kosovo diberi kemerdekaan di bawah supervisi sementara Uni Eropa dengan angkatan perang NATO dan polisi Eropa. Usulan ini ditolak Rusia dan China. Karena itu, Dewan Keamanan tidak dapat menyetujui usulan Ahtisaari. Upaya selanjutnya, perundingan langsung antara Serbia dan Kosovo diupayakan dalam waktu 120 hari yang difasilitasi “Troica Contact Group” (Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa). Hasil perundingan dilaporkan oleh Sekjen kepada Dewan Keamanan PBB pada 19 Desember 2007. Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa di Dewan Keamanan menyatakan perundingan telah gagal dan mendesak agar status akhir Kosovo segera diputuskan. Sedangkan Rusia, China, Ghana, Kongo, Panaman dan Afrika Selatan menyarankan agar perundingan diteruskan. Namun, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Barat lain menolak. Perkembangan ini berujung pada deklarasi kemerdekaan Kosovo yang didukung oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak antara lain oleh Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa dan Vietnam.[19]

Berdasarkan hukum internasional, Serbia sebagai negara berdaulat mempuyai hak untuk menumpas gerakan separatisme yang terjadi di Kosovo. Namun tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Serbia terhadap etnis Muslim Albania di Kosovo kemudian mengundang intervensi internasional (dalam hal ini NATO, PBB dan Uni-Eropa). Tindakan represif yang bertentangan dengan norma hukum HAM internasional maupun hukum humaniter inilah yang kemudian memicu terjadinya disintegrasi negara yang berujung pada dideklarasikannya kemerdekaan Kosovo atas Serbia.

Tindakan-tindakan represif dalam wujud diskriminasi, sesungguhnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Hal tersebut, misalnya pernah terjadi di Afrika Selatan ketika pemerintahan kulith putih yang berkuasa menerapkan kebijakan diskriminatif berdasarkan atas pembedaan warna kulit (“apartheid”). Golongan kulit hitam yang menjadi korban dari kebijakan tersebut, kemudian berjuang untuk mendapatkan kesetaraan (“equality”). Dihubungkan dengan apa yang terjadi di Kosovo, apabila dasar persoalannya adalah masalah tindakan diskriminasi dari pemerintah Serbia, maka yang harus diperjuangkan adalah masalah kesetaraan (seperti halnya yang terjadi di Afrika Selatan). Hal ini justru sejalan dengan ketentuan atau prinsip-prinsip dasar hukum (HAM) internasional, yaitu setiap individu memiliki HAM yang sama tanpa membedakan agama maupun latar belakang etnis yang dimilikinya. Apalagi Serbia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban hukum (“legal obligation”) yang bersifat wajib (“mandatory”) untuk melindungi HAM (khususnya terhdap etnis minoritas Muslim Albania) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Piagam PBB. Hal itu misalnya telah dinyatakan dalam bagian Preambul dari Piagam PBB.[20]

Anggota PBB yang terus menerus mengadakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dapat diusir keanggotaannya oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB. Sanksi ini merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara selalu membangkang dan terus menerus mengabaikan kewajiban internasional. Sanksi mengenai pengusiran ini telah diterapkan dalam tahun 1992 terhdap Yugoslavia (Resolusi 47/1) yang isinya sebagai berikut: “Yugoslavia yang terdiri dari Serbia dan Montenegro tidak dapat meneruskan keanggotaannya di PBB dan harus mengajukan lagi keangotaannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Piagam dan tidak lagi dapat ikut serta dalam persidangan.”[21]

Tindakan untuk memerdekakan diri Kosovo atas Serbia, di satu sisi, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan atau rasa frustasi dari etnis Muslim Albania atas perlakuan sewenang-wenang pemerintah Serbia. Namun, tindakan tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang melarang pembentukan negara di dalam negara, karena hal itu merupakan preseden yang dapat membahayakan prinsip-prinsip keutuhan wilayah (“territorial integrity”) dan kemerdekaan politik (“political independence”) dari negara. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kenyataan yang terjadi di Kosovo sesungguhnya merupakan tindakan separatisme yang jelas-jelas dilarang oleh hukum internasional. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Serbia tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar (“justification”) bagi etnis Muslim Kosovo untuk memerdekakan diri dari Serbia. Oleh karena itu, secara yuridis pendirian negara Kosovo adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional.

Kemerdekaan juga tidak dapat ditentukan berdasarkan rekayasa secara ekstern berupa “pemaksaan” oleh pihak-pihak dari luar. Dalam kasus Kosovo terlihat, bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa telah melakukan tindakan “unilateralisme kolektif”[22]dengan mendukung kemerdekaan Kosovo. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, khususnya terhadap Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB secara jelas mengatur bahwa negara-negara anggota PBB dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan internasional harus menahan diri (“shall refrain”) dari mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap keutuhan wilayah (“territorial integrity”) atau kemerdekaan politik (“territorial independence”) suatu negara.[23]

Di samping itu, tindakan “unilateral kolektif” juga merupakan tindakan yang dapat mengurangi kredibilitas PBB sebagai organisasi internasional yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berpotensi akan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan internasional. Namun, disadari atau tidak, terkait dengan kasus di Kosovo, sesungguhnya PBB telah “dilemahkan” oleh ulah beberapa negara anggotanya sendiri yang memilih sikap sendiri-sendiri di luar kerangka PBB.

Dalam kaitan ini, seharusnya Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan masalah Kosovo, namun mekanisme “veto” dalam pengambilan keputusan seringkali digunakan oleh negara-negara besar (“the big five”), yaitu: Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia, dalam rangka kepentingan politiknya, bukan demi kepentingan yang lebih besar.

Berkaitan dengan pengakuan terhadap kemerdekaan Kosovo, Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, menyatakan bahwa pemerintah tak terburu-buru untuk menyatakan dukungan atas kemerdekaan Kosovo. Selain akan melihat perkembangan kondisi negara pecahan Serbia itu, pemerintah dilematis jika mengakui Kosovo. “Memang ada dilemanya dari masalah Kosovo. Di satu sisi, kita berharap semua negara menghormati prinsip keutuhan dan kedaulatan nasional, separatisme kita tak toleransi. Sebab itu bertentangan dengan prinsip kehormatan dan kedaulatan”, ujar Hassan kepada pers seusai rapat koordinasi di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2008.[24]

Pemerintah Indonesia memang harus berhati-hati dalam memberikan pengakuan, terlebih lagi hukum internasional pun tidak memberikan kewajiban atau mengharuskan kepada suatu negara untuk memberikan pengakuan kepada negara baru. Karena, pengakuan akan menimbulkan implikasi yang luas, baik secara politis maupun yuridis bagi Indonesia dalam komunitas internasional.

Penutup

Beberapa hal penting yang dapat dipelajari dari uraian di atas, antara lain, sebagai berikut:


  1. Menurut hukum internasional negara mempunyai hak untuk menumpas setiap gerakan separatisme dengan pembatasan tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum internasional, khususnya hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional.
  2. Berdasarkan kasus di atas, tindakan represif yang melanggar ketentuan hukum internasional dapat mengundang intervensi internasional dan kemudian dapat memicu terjadinya disintegrasi negara. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi untuk memerdekakan diri.
  3. Kemerdekaan Kosovo bertentangan dengan prinsip keutuhan wilayah (“territorial integrity”) yang merupakan hak setiap negara (dalam hal ini negara Serbia) untuk mempertahankannya dan hal ini dijamin oleh hukum internasional. Oleh karena itu, tindakan memerdekakan diri secara sepihak (unilateral) dari Kosovo dapat dikatakan bertentangan dengan hukum internasional.
  4. Hak untuk menentukan nasib sendiri (“right to self-determination”) hanya dapat digunakan sekali dan ditujukan dalam rangka membebaskan diri dari kolonialisme dan dominasi asing. Menurut hukum internasional tidak dimungkinkan adanya negara di dalam negara.
  5. Hukum internasional tidak membebani kewajiban kepada negara untuk mengakui atau tidak mengakui suatu negara baru. Pengakuan lebih merupakan masalah kebijakan (“policy”) yang bersifat politis dan sepenuhnya merupakan wewenang dari negara.

DAFTAR PUSTAKA


A. Macinnis, John, The Role of the United Nations with respect to the Means for Accomplishing the Maintenance and Restoration of Peace, 26 (1) Georgia Journal of International and Comparative Law (1996).

Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, London: George Allen dan Unwin, 1982.

Condé, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, 1999.

G. Fenwick, Charkes, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965.

Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri), dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999.

Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.

O’Brien, John, International Law, London: Cavendis, 2001.

Starke, J.G., Introduction to International Law, London: Butterworth, 1989.

Sumaryo Suryokusumo, Praktek Diplomasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT. Tatanusa, 2007.

Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.

The United Nations Charter 1945.

International Covenant on Civil and Political Rights 1966.

Kompas (Jakarta), 22 Februari 2008.

Kompas (Jakarta), 23 Februari 2008.



Lampiran:


Peta wilayah Kosovo berdasarkan komposisi etnis Albania dan Serbia (sumber:http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/europe/7249034.stm 04/04/2008).

[1] Andrey Sujatmoko, S.H., M.H., adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Sekretaris Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Saat ini mengajar matakuliah: Hukum Internasional, Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM Internasional.
[2] Hal tersebut, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1

) “International Covenant on Civil and Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
[3] Sumaryo Suryokusumo, Praktek Diplomasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001, hlm. 64-65.
[4] Ibid.
[5] H. Victor Condé, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, 1999, hlm. 135.
[6] Ibid.
[7] Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri), dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999, hlm. 126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara “right to self-determination” dan “right of-determination” merupakan pemikiran dari Prof. Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”.
[8] Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965, hlm. 296-297.
[9] Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.
[10] Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, hlm. 131.
[11] Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, London: George Allen dan Unwin, 1982, hlm. 57.
[12] J.G. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworth, 1989, hlm. 151.
[13] John O’Brien, International Law, London: Cavendis, 2001, hlm. 172.
[15] John A. Macinnis, The Role of the United Nations with respect to the Means for Accomplishing the Maintenance and Restoration of Peace, 26 (1) Georgia Journal of International and Comparative Law (1996), hlm. 2.
[17] Lihat artikel Nugroho Wisnumurti: “Kosovo Merdeka, Hak atau Separatisme?”, Kompas (Jakarta), 23 Februari 2008.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Dalam bagian Preambul Piagam PBB dinyatakan bahwa: “We the peoples of the United Nations determined…, and to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person,…”.
[21] Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT. Tatanusa, 2007, hlm. 271. Pasal 6 Piagam PBB mengatur bahwa: “A member of the United Nations which has persistently violated the Principles contained in the present Charter may be expelled from the Organisation by the General Assembly upon the recommendation of the Security Council.”
[22] Istilah ini juga penulis kutip dari artikel yang ditulis oleh Nugroho Wisnumurti di atas.
[23] Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB mengatur bahwa: “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against territorial integrity and political independence of any state, or in other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations.”
[24] Kompas (Jakarta), 22 Februari 2008.