KETIDAKADILAN DAN KEPALSUAN SEJARAH ANEKSASI PAPUA 
KE DALAM WILAYAH INDONESIA MELALUI PEPERA 1969
Sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua bingung dan terus bertanya:
Mengapa Pnduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia?
Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Buku yang diterbitkan LIPI dengan judul: Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future adalah penemuan-penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini. Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu:
2. Penyesalan Perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (hal. 784).
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Buku yang diterbitkan LIPI dengan judul: Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future adalah penemuan-penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini. Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu:
- sejarah dan status politik Papua;
- kekerasan Negara dan pelanggaran HAM;
- marjinalisasi;
- Pembangunan yang diskriminatif
Rumusan ini telah  memberikan ruang dan kesempatan  kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk bersama-sama untuk  negosiasi, mediasi dan komunikasi serta dialog untuk memberikan  pilihan-pilihan jawaban yang elegan, berartabat dan setara.
Tetapi, menurut saya, keempat masalah yang ditemukan oleh TIM LIPI  sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah saja yaitu: sejarah  diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses  Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)  1969. PEPERA 1969 telah dilaksanakan  di Tanah Papua Barat sesuai dengan system Indonesia, yaitu musyawarah.  Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi  Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika,  Belanda dan Indonesia bahwa  PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sistem dan  mekanisme Internasional, yaitu one one vote. Tetapi itu benar-benar diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya.
1. Keterlibatan Militer Indonesia Dalam PEPERA 1969
Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer  Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting,  sebelum maupun  dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969.  Terlihat dalam  dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah  Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal  20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT  tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun  1969:   “ Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan  mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun   yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan.  Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan.  Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil  kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini  sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi  sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.
Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar  Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “ Pada tahun 1969  Pemerintah Indonesia memanipulasi PEPERA (Act of Free Choice) tentang  status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti,  wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi  orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan  Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan “perintah rahasia” dalam  bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di  Merauke, bupati daerah itu…”(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC  Handdelsbald, March 4, 2000).
Christofelt L. Korua, Purnawirawan Polisi, saksi mata  menyatakan,  “orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu  ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih  itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan  polisi Indonesia” (Wawancara Penulis: Jayapura, 11 Desember 2002).
“Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan  musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara  Indonesia hadir…” (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph  189-200).
Carmel Budiardjo, Direktur TAPOL, the Indonesia Human Rigths  Campaign, pada 26 Maret 2002 menyerukan kepada Kofi Annan Sekjen PBB,  “Dalam bulan Agustus 1969, penguasa Indonesia melaksanakan PEPERA di  West New Guinea (West Irian), kemudian Irian Jaya dan sekarang Papua)  untuk menentukan status masa depan wilayah. Pemilihan menyampaikan  delapan dewan bersama 1.025 orang, dilaksanakan di bawah tekanan dari  penguasa militer Indonesia”.
Pada masa Kodam dipimpin oleh Brigjen R.Kartidjo (1965-23 Maret  1966), dilaksanakan “Operasi Sadar” yang bertugas melakukan kegiatan  intelejen, menyadarkan para kepala suku, dan melakukan penangkapan  terhadap para pemimpin OPM (Organisasi Papua Merdeka) serta menangkap  orang-orang Papua yang menolak integrasi dengan Indonesia. Kemudian  ketika Brigjen R.Bintoro ditunjuk sebagai Pangdam (23 Maret 1966-25 Juni  1968), memimpin “Operasi Bratayudha” yang melakukan operasi  menghancurkan aktifitas OPM yang dipimpin Ferry Awom di Manokwari dan  menguasai wilayah Papua Barat secara keseluruhan. Pangdam berikutnya,  Brigjen Sarwo Edhi Wibowo memimpin tugas “Operasi Sadar” yang bertujuan  menghabisi sisa-sisa OPM, merangkul orang-orang Papua untuk memenangkan  PEPERA 1969, dan melakukan konsolidasi kekuasaan pemerintah Indonesia di  seluruh wilayah” (Yorrys Raweyai: Mengapa Papua Ingin Merdeka,  Presidium Dewan Papua: 2002, hal. 33-34).
Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih,  Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172  Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia,  Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah  sebagai berikut:  “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum  ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena  itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan  menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan  Republik Indonesia” (Sumber:  Dutch National Newspaper: NRC  Handelsbald, March 4, 2000).
“Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua  dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”.  Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan  melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak  mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh  orang Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr.  John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of  Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969  mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).
Kebanyakan anggota PEPERA 1969 ialah orang-orang pendatang yang   berasal dari Menado, Toraja, Batak, Ambon/Maluku, dan Buton.  Itu  terbukti dengan 59 pernyataan pro Indonesia yang ada dalam dokumen PBB  sekarang.   Bukti itu terlihat pada topik Perlawanan Orang Papua Tentang  PEPERA 1969 di bawah ini.  Saya percaya, sangat tidak mungkin pada saat  itu orang asli Papua membuat pernyataan pro Indonesia. Duta Besar  Amerika untuk Indonesia tahun 1969 menyatakan: “95% orang asli Papua  berpikiran mau merdeka” dan  Sudjarwo mengakui: “banyak orang Papua  kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia”. Pertanyaannya ialah  bagaimana mungkin pada saat orang asli Papua berkeinginan kuat untuk  merdeka 95% dan membuat  pernyataan yang bertolak belakang? Jawabnya  ialah tidak diragukan bahwa 59 pernyataan itu  itu hanya rekayasa  militer bersama orang-orang pendatang.
2. Penyesalan Perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz
Ortiz Sanz melaporkan: “…pandangan dan keinginan politik orang-orang  Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media:  pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara  tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa  masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk  peristiwa-perstiwa sepanjang perrbatasan antara Irian Barat dan wilayah  Papua New Guinea yang diurus oleh Australia” (Sumber resmi: UNGA, Annex I  A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia,  peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete,  perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh  pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300  orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa  ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan  merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan  musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat  tinggal dengan Indonesia” ( Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph  250, hal. 70).
Berhubungan dengan pelaksanaan PEPERA 1969 yang manipulatif dan penuh  pembohongan bangsa Indonesia telah menjadi kenyataan.  Dr. Fenando  Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969  melaporkan sebagai berikut.
“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba  di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan  masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian  New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian  Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada  Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik,  mempersingkat tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka  untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan  ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1  Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk  tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk  memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang  dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah  Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun  dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph  23, p.4)/
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya  tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang  berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara,  kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan  usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya  dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan  diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi”.[1]
“Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua  sangat tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok  pemberontakan Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat  memalukan.  Karena, tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti  memegang teguh berkeinginan merdeka” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil  PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).
“…Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Irian  Barat secepatnya setelah saya diangkat Perwakilan PBB untuk mengawasi  pelaksanaan PEPERA 1969, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus  1968 atas permintaan resmi Pemerintah Indonesia” ( Sumber: Laporan Resmi  Hasil PEPERA Nomor 27, Document A/7723, hal. 5).
“…Dalam beberapa kesempatan, saya berusaha mendekati pemerintah  Indonesia yang mempunyai kuasa saat itu untuk tujuan pelaksanaan Pasal  XVI Perjanjian New York, tetapi gagal untuk mendapat jawaban yang  menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia menarik kembali  dari keanggotaan PBB dan oleh karena itu tidak memungkinkan mengirim  ahli-ahli PBB ke West New Guinea (Iran Barat)” ( Sumber:  UNGA Annex  I/A/7723, paragraph 7, p.3).
“Pada akhir tahun 1968, Ortiz Sanz dan anggota Timnya sibuk melakukan  perjalanan kedua ke Irian Barat selama tiga minggu. Waktu kembalinya ke  Jakarta, dia melaporkan kepada pimpinannya bahwa mereka diikuti kemana  saja oleh pejabar resmi orang-orang Indonesia, dan sebagai akibatanya,  dia kesulitan besar untuk kontak atau berkomunikasi secara bebas dengan  penduduk asli. Walaupun ini, dia menyadari perasaan anti-Indonesia,  tetapi laporannya menunjukkan bahwa dia mengabaikan perlawanan  orang-orang Papua terhadap Indonesia. Tentu saja, ketika kesempatan ada,  itu menjadi sangat sulit, sungguh-sungguh, memperkirakan kenyataan yang  penting anti-Indonesia, hanya sangat meremehkan kemampuan penduduk asli  dan ketertarikan dalam mengajak beberapa gerakan politik, bahkan  pikiran-pikiran orang-orang Papua” (Sumber: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett,  December 18, 1968, UN: Series 100, Box 1, File 3).
“ Telah mempelajari dalam kontak saya dengan orang-orang Papua dan  dari beberapa pernyataan saya terima bahwa sejumlah politikus ditahan,  saya menyelidiki, dalam percapakan dengan Duta Besar Sudjarwo  Tjondronegoro dan pejabat resmi lain, kemungkinan mendapat pembebasan  secara berangsur-angsur. Pada tanggal 21 November 1968, saya menulis  surat menyampaikan kepada pemerintah untuk membebaskan tahanan politik  di berbagai tempat di Papua dalam peringatan Hari HAM Internasional yang  ke-15 dan juga mendekati memasuki musim Natal…” (Dokumen resmi: UNGA  1969, A/7706-7723/A/7723, 6 November 1969, paragraph 61, p.23).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
3. Protes Anggota PBB Dalam Sidang Umum Tahun 1969
Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil PEPERA 1969 itu  menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada  tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.   Mereka (anggota PBB) mempersoalkan  pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan  kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.  Karena, hasil PEPERA  1969  itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang  Umum PBB hanya  mencatat “take note”.  Istilah “take note” itu tidak  sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius  dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak  disahkan tapi hanya dicatat karena  perlawanan sengit dari beberapa  Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.   Itu menjadi  terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York,  Amerika Serikat,  terbukti: “ …156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai  dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969,  dari  pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan  pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah  netral” (Sumber resmi:  Dok PBB  di New York: Six lists of summaries of political communications from  unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series  100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum  PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap  Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan  kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang dilaporkan oleh  perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan  pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam  Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam  Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk  menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology,  Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang  sampai Merauke…”.[2] 
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai  berikut: “ Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon  menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami  menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk  musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan  keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata  terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan  prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk  menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian  peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan  setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan  permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan  dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat  bertanya:
- Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
- Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
- Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
- Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
- Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
- Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
- Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
- Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?[3]
Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (hal. 784).
4.  Protes Sejarawan
J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : “Laporan akhir Sekjen  PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya  dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi  kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia.  Atas dasar  ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the),  karena nilai-nilai proses situ jauh di bawah standar yang diatur dalam  Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian  yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan  yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu” (hal.784). ( Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”.
Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan  orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas  berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di  bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung  Indonesia” (hal. 783).  Ini bertentangan dengan  “…karakter nasional  yang sama sekali berbeda, dan hampir tidak ada paham nasionalisme  Indonesia di kalangan orang-orang Papua” (2010: hal.775).
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang  berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa  “PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis.  Sebagian  besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar  tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan  secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969  dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang  Papua bersuara melawan Indonesia…., sungguh-sungguh itu tidak demokratis  dan itu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan  Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan  Papua ketika PEPERA dilaksanakan.  Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa  PEPERA 1969 benar-benar tidak demokratis, walaupun demikian Belanda  tidak berbuat apa-apa tentang itu.  Mr. Saltimar adalah Duta Besar  Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat  kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja  dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawab untuk  melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah  suatu penghinaan dan itu sesungguhnya  tidak jujur dan itu perlu  ditinjau kembali. ” (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).
5. Protes Akademisi
Dr. John Saltford, Akademisi Inggris yang menyelidiki hasil  pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: “ tidak ada kebebasan dan kesempatan  dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan  orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia  gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan  orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur”(John  Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969).
Saltford menyatakan, “ bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri  menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir  minggu tahun 1969  adalah melawan Indonesia, dengan demikian, alasan  yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60%  pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia dan setuju  referendum secara jujur dan terbuka.  ….Karena itu, Ortiz Sanz sendiri  memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB, atau dia telah  disampaikan untuk melakukan pembohongan itu oleh U.Thant”.
“Dr. John Saltford, pada Radio Australia, tanggal 27 November 2002, “  Sekretaris Jenderal PBB dalam laporan resminya kepada Sidang Umum PBB,  menyatakan ini adalah laporan resmi dari seluruh prosedur, dia  mengatakan bahwa ada banyak petisi pro dan melawan posisi Indonesia di  Papua Barat dan dia mengatakan bahwa mayoritas tinggal dengan Indonesia.  Tetapi, sekarang saya benar-benar pergi dan mencari arsip-arsip PBB,  dan saya telah meminta banyak informasi dokumen-dokumen sangat rahasia  dan saya sangat bergembira bahwa mereka memberikannya. Tetapi, sangat  bertentangan dengan laporan Sekjen PBB, setelah saya melihat dan membaca  pada daftar petisi itu, ada daftar-daftar pokok penting tentang  petisi-petisi (pernyataan-pernyataan) dan ringkasan satu sama lain,  ….yang menyatakan mayoritas berkeinginan menentukan nasib sendiri secara  murni di Papua Barat dan melawan Indonesia”.
Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari kaca mata yang  lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas  daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali”,  (2000:hal.8). Robin Osborn mengungkapkan, “….bahwa pengabungan  daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan  pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih  pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB  diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat.  Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum  internasional”(Juli 2000:hal.xxx). 
Pada hari Sabtu, 16 Januari 2010 di studio Media Indonesia pada acara  Kick Andy, dalam menyikapi pelarangan lima buku oleh Kejaksaan Agung,   Ikrar Nusa Bhakti dalam menanggapi kementar saya (Socratez) tentang  pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat yang tidak demokrasi dan lebih  dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia,  Ikrar berkomentar: “ memang  apa yang dikatakan pak Socratez tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang  tidak demokratis itu ada benarnya”.
Pdt. Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa  PEPERA adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB,  di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum Internasional  dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan  kebiasaan dan praktek yang berlaku dalam masyarakat internasional”(hal.  23). Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua dalam Indonesia adalah  suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan  kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan  kecurigaan”.[4] Karel Phil Erari dengan tegas mengatakan, “Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah” (2006: hal.182)
Erari mengungkapkan: “ Sejarah sedang berbicara, bahwa genderang  Trikora, 19 Desember 1961 dari Yogyakarta telah mengukir sebuah tragedi  budaya dan kemanusiaan. Proses peralihan Papua dari Belanda melalui PBB  dan pada akhirnya direkayasa dalam bentuk PEPERA 1969 telah menjadi  persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM.  Para pelaku sejarah mengakui  bahwa menghadapi pelaksanaan PEPERA, mereka tidak terlibat dalam proses  persiapan pelaksanaan PEPERA. Anggota-anggota DPRD-GR, pimpinan Dirk  Ajamiseba dibubarkan dan diganti oleh Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) yang  berjumlah 1025 anggota. Seluruh pelaksanaan PEPERA dikendalikan oleh  Operasi Khusus (Opsus) dengan misi Jakarta, yakni memenangkan PEPERA  untuk Indonesia” ( Erari: hal.169).
6. Pengakuan Pemerintah Amerika, Inggris dan Indonesia
Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia  mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber:  Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Diakui oleh Pemerintah Inggris melalui Jurubicara House of Lord,  Symon Barroness pada tanggal 13 Desember 2004. Symon Barroness  mengatakan bahwa, “Papua dimasukkan dengan paksa ke dalam wilayah  Indonesia melalui rekayasa PEPERA 1969 dan akibatnya bagimana keadaan  orang Papua sekarang dan kelangsungan hidup masa depan orang-orang Papua  .”[5]
Tidak dapat diragukan dan juga tidak dapat dibantah, keinginan kuat  orang asli Papua Barat untuk merdeka di negeri dan tanah leluhurnya.   Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju  tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA  Official Records MM ex 1,  paragraph 126).
7. Protes Anggota Kongres Amerika, Parlemen  Inggris, Uni Eropa, Irlandia
Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada  Pemerintah Amerika, “  Pada tahun 1969, Indonesia menyusun suatu  pemilihan yang banyak berkaitan operasi yang brutal. Yang diketahui  sebagai suatu “Act of – No Choice” atau hokum yang tidak ada pemilihan,  1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat  diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status  politik wilayah itu. Perwakilan PBB dikirm untuk mengawasi dan  melaporkan hasil proses pemilihan dan laporannya yang berbeda yang  penghancuran serius Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa” (lihat dalam  buku: Suara Bagi Kaum tak Bersuara, Dumma Socratez: 2009:277).
Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne,  Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan  Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,   “…Referendum (PEPERA 1969) bagi  orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah  dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika  telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa  PBB tinjau kembali untuk melaksanakan pemerimaan “ PEPERA 1969” itu.
Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada  Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen   PBB, Kofi Annan,  dengan pernyataan sebagai berikkut:  “PEPERA 1969 lebih daripada  lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa  Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada  pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk  asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia.  Menyerukan  kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang  berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan  nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia  Timur Selatan” (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict  Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West  Papua).
Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang  West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan  PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib  sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada  Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan  PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan  mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969”.
Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew  Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota  Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang bertanda tangan di  bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat  untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan  mereka dihancurkan melalui  PEPERA 1969  “Act of Free Choice 1969”. Kami  menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk  pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur.  Penduduk  asli Papua Barat dapat memutuskan secara demokratis masa depan mereka  sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi  Internasional,  prinsip-prinsip hukum Internasional,  dan Piagam Perserikatan  Bangsa-Bangsa”.
Pada 1 Desember 2009 di Gedung Parlemen Inggris, London, para Ahli  Hukum Internasional Untuk Papua Barat, “International Lawyers for West  Papua” (ILWP) pada saat peluncuran buku Prof. Pieter Drooglever,  dinyatakan, “ empat puluh tahun yang lalu secara ironis yang  dilaksanakan namanya PEPERA 1969 “Act of Free Choice”. Tapi, sebenarnya   tidak ada pemilihan. …Itu terjadi dua skandal, yaitu:  (1) skandal  aneksasi secara illegal Indonesia tentang Papua Barat; dan (2) skandal  kolusi Internasional dengan Indonesia”.
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam  wilayah Indonesia  yang penuh rekayasa dan kepalsuan  seperti ini, jalan  penyelesaian yang berprospek damai,  bermartabat dan manusiawi harus  ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia. Oleh  karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah Indonesia dan  penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai yang  dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak  ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh.Maksud penulis dialog  tanpa syarat ialah dalam dialog tidak berbicara Papua Merdeka dan juga  tidak dalam bingkai NKRI. Artinya dialog jujur dan setara harus dalam  kerangka baru yaitu diluar konstruksi Papua Merdeka dan NKRI. Tanpa   kerangka baru seperti ini, yakinlah bahwa paradoks ini tidak akan pernah  menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat.   Karena  itu, diharapkan dalam dialog harus melihat masalah Papua dengan nurani  yang suci dan pikiran jernih untuk mencari penyelesaian untuk mewujudkan  perdamaian dan keadilan serta demokratis demi masa depan Indonesia dan juga masa depan  masyarakat asli Papua.
Tuhan memberkati kita semua.
Tuhan memberkati kita semua.
 

