Masalah utama Papua adalah status politik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinilai dan dianggap belum tuntas oleh para politisi atau pendapat opini Orang Asli Papua didasarkan kepada fakta sejarah bahwa proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar kepatutan yang tertung dalam Piagam PBB , tentunya penyimpangan atas prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri didasarkan pada kepentingan ekonomi politik global.
Karena proses itu merupakan konspirasi pihak-pihak yang berkepentingan menetapkan “Act of free choise “sebagai sarana penentu kepentingannya melalui lembaga “UNO” , masalah konflik politik tentang status wilayah WP seyogyanya apakah sudah dianggap final ditetapkannya Resolusi UNO No. 2504 ibart “ buah simalakama” dan apakah masih ada kesempatan diselesaikan di tingkat internasional.
Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Terdapat 2 cara yang ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu :
Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Terdapat 2 cara yang ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu :
secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau konflik karena dari perspektif permlsalahan guna penegakan kedilan, hukum dan HAM muncul kecenderungan memilih opsi secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office), mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan PBB.
secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional) untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan pembalasan (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan intervensi.
Setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan secara damai. melalui badan Arbitrase dan organ PBB yaitu Mahkama Internasional, berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga. Hal ini sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus Papua Barat, cara arbitrase ini dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan Indonesia yang menunjuk Amerika Serikat yang pada saat itu sedang memiliki nafsu kepentingan ekonomi (Freeport) untuk menjadi arbitrator (pihak ketiga) melalui “ New York Agreement”
Perjanjian ini dinilai sepihak karena tidak melibatkan orang Papua Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan atas saran Elsworth Bunkers yang dikenal dengan sebutan “Bunkers Plan” telah mempengaruhi para pihak yang bertikai yakni Indonesia dan Nederland persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status Pribumi Papua Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.
Melalui Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ)mengingat perannya sebagai organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya ditinju kembali oleh lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB.
Secara umum juridiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi 2:
a. Juridiksi atas kasus yang berdasarkan analisa bahwa telah terjadinya sengketa
Juridiksi mahkama internasionl untuk mengadili suatu sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa yang berhubungan dengan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum Internasional terhadap para pihak yang sedang bertikai
b.Juridiksi untuk memberikan advisory opinion
Juridiksi ICJ dalam memberikan pendapat addvis hukum atas persoalan hukum berdasarkan organ-organ yang memiliki kewenangan untuk membahas, menimbang dan memutuskan, proses penyelesaian sengketa politik wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada pelaksnaan “act of free choise” PEPERA 1969 tidak dilakukan sesuai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional. Maka, Negara-negara anggotan PBB memilik hak dan kewajiban mendesak Majelis Umum PBB di setiap pertemuannya agar meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status Papua Barat.
2.Masalah Papua Barat Harus Diselesaian Melalui Proses Hukum di MI (ICJ)
a. Alasan Pembenaran
Untuk menyelesaikan melalui proses hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu hal-hal apa saja yang membenarkan bahwa masalah Papua Barat harus diselesaikan di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
b. Papua Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional.
b. Papua Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional.
Papua Barat dalam proses sejarahnya pernah menjadi wilayah yang dipersengketakan dan dalam prosesnya banyak kejanggalan seperti:
- Dalam pelaksanaanya Indonesia tidak mematuhi hak dan kewajiban untuk melaksanakan berbagai perjanjian salah satunya perjanjian New York Agreement itu;
- Terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional seperti Roma Agreement dan New York Agreement tahun 1962;
- Wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Contoh nyata adalah konspirasi Indonesian Amerika Serikat menjadikan Indonesia MOU dalam perjanjian kontrak karya SDA Freeport Mc MoRaNd tahun 1967;
- Papua Barat telah menjadi wilayah perebutan pengaruh ekonomi, politik atau keamanan regional dan internasional;
- Papua Barat yang telah berdaulat pada 1 Desember 1961 telah diintervensi kedaulatannya dengan maksud menguasai dan dengan dikeluarkannya seruan Trikora 19 desember 1961 untuk membubarkn negara boneka papua;
- Poin 5 merupakan bukti penghinaan terhadap harga diri bangsa papua Melanesia sebagai umat Tuhan yang memiliki kesetaraan untuk meraih kebebasan keputusan Congres I Nieuw Guinea Raad per 1 Oktober 1961 menjadi sebuah monument awal perjalanan keputusan Pemenitah Nederland tidak sepenuhnya dipertahankan.
Hal yang sudah diuraikan dalam kasus sengketa atas tnh WP Melanesia masih menjadi perselisihan orang Papua sepertinya diabaikan dan sudah saatnya menjadi perhatian internasional, merupakan sebab-sebab mengapa suatu wilayah disebut sebagai wilayah yang dipersengketakan.
3. Kasus Papua Barat dalam Asas hukum Internasional
Hal-hal yang menyebabkan kasus Papua Barat sesuai dengan pandangan Sistem Hukum dan Peradilan Internasional menurut resolusi majelis umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas yang mendukung penyelesaian konflik Papua Barat adalah
- Setiap Negara harus menyelesaian masalah Internasional dengan cara damai. Masalah Papua Barat adalah masalah internasional dan setiap pihak yang sedang mempermasalahkan Papua Barat harus diselesaian secara damai;
- Asas persamaan hak dan penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat. Rakyat Papua Barat punya hak dalam penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara sesuai dengan kemerdekaan 1 Desember 1961 ditetapkan berdsarkan manifesto politik kongres I Nieuw Guinea Raad yang diawali pemilihan bebas menetapkan perwakilan partai-partai politik utusan nieuw guinea raad (lembaga DPR)
4. Kasus Papua Barat sebagai Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, yang menjadi subjek hukum Internasional adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization).
Kasus Papua Barat Sesuai Dengan Sumber-Sumber Hukum Internasional yang digunakan oleh MI dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
1) Sumber hukum dalam arti Material
dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda;
2) Sumber hukum dalam arti Formal
adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh ICJ, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional (traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
5. Mahkama Internasional (ICJ) Dalam Menyelesaian Masalah Papua Barat
MI atau ICJ adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.
Mahkama Internasional berfungsi menyelesaian kasus-kasus internasional sesuai dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar pertimbangannya. Ada dua fungsi Mahkamah dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan opini-opini yang bersifat nasehat. Dalam menyelesaian kasus Papua Barat yaitu:
1. Bila Orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai maka Mahkama Internasional dapat memutuskan pertikaian itu sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai, dan terlebih atas desakan Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional.
2. Negara-negara Anggota PBB mendesak Badan-badan PBB seperti Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB agar meminta MI memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (advisory opinion) tentang status hukum Papua Barat. Hal ini karena ada fakta-fakta baru dalam proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan standar-standar hukum internasional itu sendiri yang patut diduga menyimpang
3. Mekanisme Penyelesaian di Mahkama Internasional
Bila Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari MI, maka bagaimana cara kerja lembaga ini? Dua pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk lebih dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap Mahkama Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.
Bila Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari MI, maka bagaimana cara kerja lembaga ini? Dua pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk lebih dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap Mahkama Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.
Dua belah pihak harus memaparkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam kasus status hukum Papua Barat. Dalam memaparkan inti kasus dari masing-masing pihak, pertama-tama persidangan mengadakan tiga putaran permohonan tertulis dari kedua pihak. Hal ini karena masing-masing akan mempresentasikan hasil kajian sejarah dan argumentasi hukum. Setelah persidangan mencatat semua, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya yaitu mendengarkan argumentasi lisan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini bisa mencapai waktu berhari-hari.
Setelah para penasehat hukum pulang, para hakim mengadakan musyawarah. Tahap musyawarah ini bisa mencapai waktu 3-4 bulan. Dalam musyawarah, para hakim menyusun tanggapan pertama mereka serta mendiskusikannya. Lalu persidangan membuat Komisi Rancangan (Drafting Committee) secara berurutan setiap naskah pendapat para hakim dan menjadi bahan diskusi ataupun amandemen (perubahan) dalam rapat pleno para hakim. Dan akhirnya muncul sebuah pendapat yang mendapat dukungan mayoritas hakim di persidangan. Sementara jika ada hakim yang tidak sepakat dengan pendapat itu, bisa membuat disseting opinion. Kemudian pendapat akhir Mahkama Internasional dibacakan dalam persidangan terbuka, di depan para penasehat hukum pihak yang bertikai (pihak yang memperkarakan).
4. Pentingnya Pengacara Internasional bagi Papua Barat sebagai Solusi akhir pertikaian
Pengacara internasional adalah para pakar hukum internasional yang melakukan pembelaan hukum terhadap kasus-kasus yang bertentangan dengan atau melanggar hukum Internasional. Pengacara Internasional biasanya diakui secara internasional karena kontribusinya dalam membawa kasus-kasus internasional ke lembaga Internasional sesuai dengan piagam-piagam PBB, standar-standar serta prinsip-prinsip hukum internasional.
Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional, maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum internasional. Dengan demikian, pengacara internasional bagi bangsa Papua Barat adalah suatu keharusan. Tugas-tugas pengacara internasional adalah melakukan penyelidikan atas masalah Papua Barat dan mengkajinya sesuai protap hukum internasional. Pengacara internasional berdasarkan kajian itu terus mendesak pentingnya penyelesaian masalah Papua Barat melalui pengadilan internasional dengan cara memaksa semua pihak-pihak internasional dan lembaga internasional untuk menyelesaikan persoalan Papua Barat melalui jalur hukum sesuai mekanisme internasional. Tidak sampai disitu, pengacara internasional kemudian hari ditunjuk oleh pihak Papua Barat untuk membela kasus Papua Barat selama proses peradilan internasional berlangsung, yaitu mempresentasikan kajian hukum tentang status Papua Barat didepan Hakim Mahkama Internasional.
Sebaliknya, Pemerintah Indonesia melalui pengacara Internasionalnya juga akan mempresentasikan materi untuk membenarkan bahwa status hukum Papua Barat dalam NKRI itu sah menurut kajian hukum internasional. Indonesia kini memperkuat status hukum Papua Barat melalui resolusi Majelis Umum PBB no 2504 tahun 1970. Di Mahkama Internasional nanti, pihak Indonesia harus bisa menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat. Saat ini telah dibentuk Internasional Lawyers for West Papua [ILWP] yang diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie dan terus menghimpun anggota-anggota pengacara internasional lainnya di berbagai belahan dunia yang memiliki reputasi ternama
5. Materi Papua Barat di Mahkama Internasional
Bahwa proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga 1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serikat dan Indonesia adalah:
- Menanyakan Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad. Bukankah ini adalah proses dekolonisasi, atau bagian dari semangat pembentukan komisi dekolonisasi PBB?.
- Bila kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.
- Jika itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sewajarnya pelaksanaan act of free chose atau plebesit di West Irian sekurang-kurangnya tenggang waktu 1-2 tahun melalui pilihan bebas “one man one vote” yang diawasi pihk UNTEA (Pemerintahan Transisi Pewalian UNO) ketika itu sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan sesuai mandat dekolonisasi PBB.
- Bila proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB, maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
- Bila keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun 1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
- Bila keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement” Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, aksi teror, intimidasi dilakukan sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Proses inilah yang harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau penjelasan berupa nasihat tentang proses itu dari Mahkama Internasional.
(Port Numbay, 22-08-2015 00.11 WP)