Pengadilan HAM di Indonesia -->

Advertisement

Pengadilan HAM di Indonesia

Rabu, 11 Februari 2015

.
Sidang Uji Materi Pengadilan HAM (aktual)


Abstrak

Arus globalisasi HAM telah memberi akses yang luas kepada setiap masyarakat Indonesia untuk memahami nilai dan konsep perlindungan HAM. Salah satu bukti terimplementasinya institusi-institusi yang berkaitan dengan HAM, adalah terbentuknya HAM dalam tatanan sistem kepemerintahan dan negara Indonesia.

Latar Belakang

      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948 telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia. Sekelompok anak bangsa merasa telah menemukan kebebasan atas penindasan dari anak bangsa yang lainnya, di pihak lain ada sekelompok masyarakat justru harus mengalami kondisi peperangan karena negara tempat tinggalnya dianggap sebagai penjahat HAM, khususnya kepala negara mereka sebagai pemerintahan yang anti HAM, maka atas nama demi penegakan HAM, masyarakat sipil yang harus menerima akibat dari politik perang menegakan HAM tersebut, sebagai contoh yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak dewasa ini. Apapun dampak dari penegakkan HAM, banyak masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia berharap banyak pada adanya pengadilan HAM yang dapat melindungi hak-hak mereka.

Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus global di dunia internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya kesadaran masyarakat internasional mengenai isu HAM ini dalam tempo yang relatif singkat adalah suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep tatanan dalam rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun konstruksi demokrasi berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Hal ini juga telah membawa perubahan dalam konteks mekanisme sistem pemerintahan di belahan dunia dalam membentuk masyarakat yang menaruh penghormatan terhadap nilai-nilai HAM sebagai kerangka konstitusi pada landasan yuridis yang tertinggi dalam kehidupan bernegara.

Apa yang terjadi di Indonesia merupakan kasus tersendiri, dimana penyusunan muatan HAM yang lebih demokratis dalam Konstitusi Republik Indonesia mulai dilakukan dan dimuat ketika pembentukan amandemen kedua Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Penyusunan muatan HAM tersebut tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang ada, seiring dengan nuansa demokratisasi, keterbukaan, dan perlindungan HAM serta upaya mewujudkan negara yang berdasarkan hukum. 

Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat sebenarnya dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang mulai sejak zaman pergerakan hingga kini, yaitu pada saat terjadi amandemen terhadap UUD 1945 yang kemudian membuat konstitusi tersebut secara eksplisit memuat atau mencantumkan pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM.

Tiga konstitusi yang pernah berlaku sejak masa kemerdekaan sebelum diamandemen (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949) dan UUDS 1950), memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, yang disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial-politik pada saat penyusunannya.

Diawali dengan berakhirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang begitu represif selama 32 tahun berkuasa, telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya penghormatan HAM. Euforia atas sejumlah tuntutan agar dilakukan peradilan tehadap para pelanggar HAM masa lalu ketika itu kian merebak dan meluas, sementara pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung dalam berbagai bentuk, pola dan aktor yang berbeda. Sehubungan dengan itu, wacana untuk memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan penghormatan, pemajuan dan penegakan nilai-nilai HAM juga mendapat respon yang positif dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM berat. 

Sebagai bentuk pelaksanaan dan penjabaran dari amandemen UUD 1945, Pemerintah dan DPR akhirnya merumuskan suatu peraturan perundang-undangan khusus di bidang HAM, antara lain yaitu: UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang kemudian menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah tentang Peradilan HAM.

Hakekat HAM dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia
 
        Hak Asasi Manusia (HAM) melekat pada manusia secara kodrati dan HAM merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang terbaik yang dimiliki oleh setiap insan manusia di belahan bumi manapun. Hak-hak ini tidak dapat diingkari begitu saja oleh siapa pun juga. Pengingkaran terhadap hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah, baik negara, pemerintah, atau organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Di Indonesia, pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28 A – 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas hukum internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam bentuk UU seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia seperti tersebut diatas, merupakan politik hukum pemerintah dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung dalam HAM dan merupakan pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter kepada sistem pemerintahan yang cenderung demokratis yang mana saat ini dapat terlihat dengan jelas dari karakteristik produk hukum yang dihasilkannya. Dalam konfigurasi politik dan produk hukum, sistem yang demokratis menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsive, yang dimaksud dengan produk hukum yang responsif adalah: “Produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.”

Segala peraturan perundang-undangan diatas merupakan produk politik dimana karakter produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini pula yang menjelaskan bahwa adanya kemauan pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu, hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. 

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai produk hukum, merupakan juga hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi, dan bahkan saling bersaingan. Adanya UU tersebut dikarenakan lahir dari Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM tanggal 8 Oktober 1999. Hal ini tercermin dalam proses pembentukan pengadilan HAM pertama kali di Indonesia.
Sejarah Pembentukan Pengadilan HAM.

Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil dalam Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini menyatakan bahwa Pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat, seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute of the International Criminal Court”.

Implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia internasional, khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir bulan Agustus 1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu ini dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan dengan terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri tentang peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat yang diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar bangsa.

Disini terlihat adanya tekanan dalam dan luar negeri bagi Indonesia untuk segera membentuk ataupun mendirikan suatu institusi penegak hukum dibidang HAM untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, Perppu tersebut merupakan solusi untuk memberikan kepastian bagi masyarkat dan dunia internasional bahwa pemerintah memiliki kemauan untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM, salah satunya kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur. Akan tetapi, keberadaan Perppu tersebut tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya Perppu tersebut, berbagai polemik telah berkembang di dalam media massa di tanah air dimana munculnya wacana untuk segera merevisi Perppu ini mengingat di dalamnya masih terdapat berbagai kelemahan. Karena dinilai tidak memadai maka Perppu tersebut tidak disetujui DPR untuk menjadi UU sehingga Perrpu tersebut perlu dicabut.

Pemerintah kemudian mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM dengan substansi yang lebih komprehensif kepada DPR untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Sehingga pada akhirnya pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid UU tentang Pengadilan HAM yang kita kenal sekarang ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
Adanya politik hukum pemerintah yang bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan HAM yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran HAM yang tergolong berat. Oleh sebab itu, untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan HAM tersebut maka perlu dibentuk UU tentang Pengadilan HAM agar memiliki dasar hukum yang kuat. Dasar pembentukan UU tentang Pengadilan HAM ini adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999.

Adapun pembentukan UU tentang Pengadilan HAM di Indonesia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
  1. Pelanggaran HAM berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur didalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immaterial perseorangan maupun masyarakat sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai perdamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
  2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Ham yang berat adalah:
  • Diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;
  • Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP;
  • Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
  • Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM yang berat.

Pengadilan HAM Pertama di Indonesia

Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, maka Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.

Belum sempat dilaksanakannya Keppres tersebut, pada awal masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami revisi, yakni dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keppres No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang mengalami perubahan dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok, yaitu penambahan kalimat wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan September 1999 untuk kasus Timor Timur serta bulan September 1984 untuk kasus Tanjung Priok. 

Dalam kaitan tersebut, dapat terlihat adanya politik hukum dari kedua rezim untuk melaksanakan proses penegakan hukum bidang HAM pada suatu institusi peradilan melalui diterbitkanya Keppres-keppres pembentukan Pengadilan HAM. Sehingga, disini terlihat bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu juga (terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc).

Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. Bagir Manan, SH, MCL meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang pertama di Indonesia sebagai salah satu pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000, yaitu bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pengadilan HAM bukanlah badan peradilan baru atau badan peradilan yang berdiri sendiri yang terlepas dari keempat badan peradilan yang selama ini kita ketahui (Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Pengadilan HAM hanyalah salah satu divisi atau bagian dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan badan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 seperti Pengadilan Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada perbedaan yang mendasar dengan pengadilan lain, baik yang berada dalam kamar Pengadilan Niaga atau Pengadilan TUN, dimana Pengadilan HAM tidak sepenuhnya bergantung kepada hakim karier, melainkan pada hakim nonkarier (hakim ad hoc) yang merupakan mayoritas dalam majelis hakim. 

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali, Pengadilan HAM tersebut dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar, dengan wilayah hukumnya sebagai berikut:
  1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
  2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel, Kaltim, NTB dan NTT;
  3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
  4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor Timur dan Tanjung Priok seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Kerusuhan Massa di berbagai tempat di Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban Pengadilan HAM untuk memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan.

Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan didasari adanya pengaturan mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD 1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan HAM itu sendiri.

 Penutup

Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh penguasa.

Dengan demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa UU No. 26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perppu No.1 Tahun 1999 tentang hal yang sama maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai berikut: 
Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Hal ini juga merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.
Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.
Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. 

Indonesia perlu membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen dalam menangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ini penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya merevisi perundang-undangan dibidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM dan Pengadilan HAM. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang responsif.

Sementara itu dalam upaya menutup masa lalu dan menyongsong masa depan yang lebih beradab, tenteram, sejahtera dan damai, ada baiknya mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Afrika Selatan dalam melaksanakan program rekonsiliasinya. Suatu negara yang pernah teraniaya oleh bangsa kulit putih melalui sistem Apartheidnya, kini dapat hidup berdampingan dengan mengubur permasalahan masa lalu sedalam-dalamnya dan menjadi bangsa yang besar. Rekonsiliasi merupakan alternatif proses penyelesaian permasalahan HAM melalui pemberian pengampunan.

Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan dilakukan oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini memiliki tugas dan wewenang antara lain memberikan pengampunan bagi tindakan-tindakan politik tertentu yang telah dilakukan oleh organisasi politik atau anggota dinas keamanan dalam tugas dan kewajiban mereka. Komisi ini juga dapat memanggil orang dan memeriksa dokumen dan artikel sebagai usaha mendapatkan kebenaran. Selain itu juga menyusun identitas para korban dan membuat proposal pemulihannya, serta memberikan amnesti, ganti rugi, kompensasi dengan bantuan dana dari pemerintah. Bangsa Indonesia dapat berbuat hal yang sama dengan Afrika Selatan sehingga dapat membangun bangsa dan Negara secara bersama-sama menjadi salah satu bangsa yang besar di mata masyarakat internasional.

Daftar Pustaka
Arinanto, Satya. “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”. cet. II. Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Laporan Akhir Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timir (KPP-HAM) Jakarta: 31 Januari 2001.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. cet. II. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2001.
Indonesia.Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39. LN No. 165 Tahun 1999. TLN No. 3886. Pasal 1 angka 1.
_______ Undang-undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU No. 26. LN No. 208 Tahun 2000. TLN No. 4026. Pasal 1 angka 3.
________. Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keppres No. 53 Tahun 2001. Bagian Menimbang butir a.
________. Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres No. 96 Tahun 2001. Bagian Menimbang butir a.