Catatan Terkait Kunjungan Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan PBB Ke Papua -->

Advertisement

Catatan Terkait Kunjungan Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan PBB Ke Papua

Kamis, 30 Maret 2017



Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dainius Puras berkunjung ke Indonesia untuk memantau situasi terpenuhinya hak atas kesehatan. Dainius rencananya akan berkunjung di Indonesia selama 22 Maret higga 3 April 2017.

Dainius dijadwalkan mengunjungi 5 tempat di Indonesia salah satunya adalah Tanah Papua, di Jayapura dan Manokwari. Terkait kunjungan ke Papua, Dainisius akan ketemu beberapa Organisasi Sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat serta akan mengunjungi fasilitas kesehatan yang tersedia di kota kunjungannya.

Selain memantau fasilitas kesehatan, pelapor khusus PBB ini juga untuk memantau Isu hak atas kesehatan seperti asuransi kesehatan nasional, kasus malpraktek, orang dengan masalah kejiwaan (OMDK), korban asap kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, kelompok LGBT/SOGIE, penderita kusta, penyadang disabilitas, masyarakat adat, dan dampak rokok terhadap kesehatan. Hal diatas ini tercantum dalam Deklarasi Umum HAM Pasal 25 (1) Kovenan International Hak Ekosob mempertajam dan mendetilkan hak atas kesehatan dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, pasal 12, Konvensi Internasional Penghapusan segala bentuk diskriminasi Rasial 1965, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 1979 dan dalam Konvensi Hak Anak 1989 serta beberapa instrument internasional lainnya..

Misi utama pemantauan ini adalah mendorong pembangunan hak atas kesehatan yang selaras dengan hak asasi manusia di Indonesia, serta memastikan setiap orang dapat tertanggani dengan baik dan tanpa diskriminasi.

Bagaimana dengan Hak Atas Kesehatan di Papua?


Persoalan sejarah Politik Papua yang tak kunjung usai telah melahirkan sebuah Undang-Undang pada tahun 2001, UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus. Dalam UU Otsus telah diatur terkait pelayanan kesehatan dalam BAB XVII.

Pemerintah Provinsi Papua diberi kewenangan untuk mengatur soal pelayanan hak atas kesehatan termasuk dalam penerapan UU Otus, salah satu yang telah berjalan adalah pelayanan gratis kepada Orang Asli Papua (OAP) di rumah sakit Umum di seluruh Tanah Papua dengan beberapa persyaratan administratif.

Adapun Dana yang dialokasikan dari Otonomi Khusus adalah 2 %, hal ini diatur dalam pasal 33 bagian c huruf 1. Jika kita kalkulasikan dengan dana Otsus seluruh Tanah Papua, baik provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2016 adalah sekitar 2 (dua) Triliun untuk kesehatan dari seluruhnya yang hampir mencapai 8 T dengan  jumlah Rp 7.765.059.420.000.

Bicara soal angka uang di Papua memang fantastis, tetapi nilai ini terlihat tak berlaku karena tidak sejalan dengan pembangunan sumber daya manusia terlebih khusus atas tenaga medis seperti dokter, mantri maupun bidan. Jika dihitung dengan jari, di Papua sama sekali tak ada sekolah kesehatan gratis, selain subsidi di Fakultas Kedokteran Masyarakat di Uncen.

Jika alokasi 2% dari dana Otsus untuk kesehatan dan pendidikan dikhususkan untuk pembangunan dan pengembangan SDM tenaga medis bisa dibilang masih sangat kecil, karena topografi yang sangat luas dan membutuhkan banyak biaya untuk mencapai lokasi-lokasi terpencil. Jadi penggunaan dana inipun disalurkan melalui pemda dan akhirnya tidak mencapai maksud dan tujuan penggunaan dana 2% tersebut,


Pelayanan Kesehatan di Papua


Dikutip dari dari data Departemen Kesehatan 2013 di Provinsi Papua terdapat kurang lebih 33 unit Rumah Sakit (RS), 2 Rumah Sakit khusus. Dari 33 ini tak semua Rumah sakit ini mendapatkan fasilitas yang sama. Entah karena persoalan administrasi pengadaan ataupun karena kekurangan tenaga medis ataupun karena masyarakat yang jauh dari fasilitas seperti di pelosok-pelosok kampung.

Pelayanan kesehatan di Papua seharusnya diberikan dengan gratis kepada OAP tanpa melihat status atapun karena faktor lain, seperti Tahanan Politik Papua. Menurut data Pantau.or.id, hingga kini masih ada 6 tahanan politik Papua yang seharusnya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil, keenam tahanan politik Papua ini tersebar di Abepura, Biak dan Nabire.

Pada tahun 2010, Filep Karma susah mendapatkan pelayanan kesehatan atas sakit yang dideritanya. saat itu Filep menjalani masa tahanannya sebagai tahanan Politik Papua, Adapun sakit yang diderita Filep Karma saat itu adalah terganggunya saluran kencing dan memerlukan operasi Colonoscopy. Karena di Papua tak tersedia fasilitas dan kemampuan untuk mengatasi sakit yang diderita bapak Filep, terpaksa harus diterbangkan ke Jakarta.

Ketika Bapak Filep karma diterbangkan ke Jakarta, Kementrian Hukum dan HAM sebagai lembaga tertinggi dari Lembaga Pemasyarakatan mengatakan tak ada dana untuk membiayai kesehatannya.

Dari kasus Bapak Filep karma ini terlihat 2 kekurangan dalam pelayanan kesehatan.

Nah.. saya kira masih banyak persoalan yang musti dijawab.. akan tetapi akan lebih penting ketika pendidikan dan kesehatan ditanggung penuh oleh negara alias gratis, baik dalam hal pembangunan SDM maupun sarana kesehatan. Karena Papua tak butuh gedung-gedung tinggi ataupun jalan tol, tetapi haknya sebagai manusia Papua. Dan karena juga indeks pembangunan masusia Papua baru dimulai 19 Tahun sejak operasi militer diberhentikan tahun 1998.