SEKOLAH, CANDU ATAU KAPITALISME LICIK? -->

Advertisement

SEKOLAH, CANDU ATAU KAPITALISME LICIK?

Kamis, 19 Januari 2012


"SCHOOL is dead,'' kata Everett Reimer. Riemer terlalu berlebihan? Boleh jadi, iya. Sebab, bukankah sekolah belum betul-betul mati. Ia masih berdenyut. Gedung-gedungnya masih tegak berdiri; guru dan murid-muridnya pun masih datang setiap pagi dan pulang menjelang siang. Untuk sementara, abaikan saja dulu soal fungsinya.

Bukankah ajakan Ivan Illich tentang gerakan masyarakat tanpa sekolah (deschooling society), pada tataran praksis tak pernah bersambut secara "menggembirakan'', kecuali gemanya pada tingkat wacana.

"Tapi sekolah hanya membuat sengsara,'' keluh seorang petani desa yang setiap tahun harus menggadaikan sawah atau menjual ternak untuk membayar uang pangkal, SPP, BP3, seragam, sepatu, tas, kaus olahraga, dan seribu satu kebutuhan sekolah, demi anak-anaknya bisa duduk di bangku institusi pendidikan formal itu selama belasan tahun.

Seperti orang tua lain, apa saja dia lakukan, asalkan anak-anak bisa ke sekolah. "Kalau perlu, apa pun dijual untuk sekolah,'' demikian bunyi slogan kampanye pendidikan yang dengan enteng, tanpa beban dosa, disuarakan oleh aparat pemerintah.

Ketika pesan semacam itu tertelan apa adanya oleh warga petani desa, atau yang satu strata sosial-ekonomi dengannya, lingkaran setan pendidikan dan kemiskinanlah yang sedang terbentuk. Sekolah, sebagai institusi pendidikan yang sering dianggap paling tersistematika, tidak saja tak mampu mengangkat warga negeri ini dari relung kemiskinan, tetapi justru mempercepat pemiskinan. Sistem pendidikan yang amburadul, telah menyebabkan pemiskinan secara kultural, sedangkan penyelenggaraannya yang tanpa tanggung jawab pemerintah secara memadai terutama dalam hal pendanaan, makin memerosokkan warganya ke dalam palung kemelaratan.

Ketika harta telah terkuras untuk mengongkosi anak sekolah, jangan lantas terlalu berharap itu akan menjadi investasi. Setelah lulus, belum pasti anak memperoleh pekerjaan. Kalau pun dapat, belum tentu cucuk. Anak tak sampai putus sekolah atau tinggal kelas saja mungkin sudah dianggap mendingan.

Kecuali mimpi-mimpi, dan secuil harapan, tak perlu bertanya apa yang bisa diberikan oleh sekolah. Dua belas tahun hanya untuk duduk, mendengar guru berceramah di depan meja kelas, mencatat hal-hal yang sebenarnya cukup difotokopi, dan menjadi beo yang terampil menghafal, serta memilih jawaban yang telah disediakan, rasanya hanya sebuah aktivitas yang amat panjang nan menjemukan.

Sungguh terlalu mahal!

Bahkan untuk menjawab (tepatnya memilih) soal yang telah tersediakan, dengan materi yang telah berulang-ulang disampaikan di dalam kelas, kehadiran lembaga bimbingan belajar (tepatnya lembaga bimbingan pengerjaan soal tes) masih didewa-dewakan. Pelacuran pendidikan (meminjam istilah Direktur Primagama Drs Kalis Purwanto MM) atau kriminalisasi pendidikankah (istilah Triyanto Triwikromo) yang telah terjadi?

Cara belajar siswa aktif (CBSA) memang pernah diagungkan sejak sekitar dua dekade lalu. Sayang, sekalipun sebagian dari jiwanya baik, raganya rusak. Itu karena terjadi paradoksal antara filosofi dasar dan praksis pengajarannya. Uji coba penerapan perangkat teknis media kodifikasi dan dekodifikasi Paulo Friere telah bergulir, namun secara tegas pemberlakuan penuh dengan taat asas pada prinsip dasar metodologi konsientisasi dan gagasan humanisasi pendidikan, yang justru menjadi paradigma pokoknya, ditolak.

Membongkar Sekolah

Tak berlebihan jika Ivan Illich dengan sangat kritis membongkar sistem pendidikan sekolah dan mendakwanya telah melahirkan degradasi kemanusiaan. Manusia melalui pendidikan formal menjadi makin jinak dan terdomestikasikan. Maka, dengan sangat radikal pula ia menawarkan program bebas sekolah, masyarakat tanpa sekolah. Keluhan terhadap sekolah boleh saja terus menggema. Kecaman terhadap sekolah boleh saja, dan memang semestinya, selalu mengumandang.

Sekolah sudah teramat sering disesali, tapi pada saat bersamaan sekaligus juga amat didambakan. Ia boleh salah, tapi harus tetap ada dan dibutuhkan. Dia tak menunjukkan hal lain kecuali ketakberdayaan menghadapi kepelikan sebuah sistem yang telah sedemikian mapan dan berkuasa, sekaligus menjadi ungkapan penghargaan yang berlebihan tinggi pada keberadaaan lembaga yang mewakili sistem tersebut.

Sekolah tetap berjaya dan akan selalu benar atau dibenarkan. Para guru, kepala sekolah, pemilik sekolah, dan pejabat pendidikan, lewat aturan dan kebijakan yang mereka buat, bisa saja salah karena melawan hakikat pendidikan. Tetapi sekolah sebagai sistem dan pranata sosial tak pernah salah dan kalah. Yang salah dan memang sering dipersalahkan adalah yang gagal dengan sepenuh hati menjalaninya.

Sekolah, dalam konteks seperti itu, tak lebih dan tak kurang sebagai candu. Selalu diburu, karena dengannya anak-anak akan dibawa pada mimpi-mimpi tentang masa depan. Dengannya, anak-anak dibawa untuk melupakan masa kini, seraya mencerabutkan mereka dari realitas yang melingkupi. Hingga seorang anak petani yang belajar di sekolah pertanian pun enggan memegang cangkul dan bajak.

Padahal, sebagaimana dirumuskan oleh Benjamin Bloom, sekolah semestinya menggarap wilayah taksonomi pendidikan, yakni bertugas mendidik anak agar menjadi insan yang berwatak (ranah afektif), berpengetahuan (ranah kognitif), dan berketerampilan (ranah psikomotorik). Pada tataran konseptual, hal itu telah terumuskan, bahkan pada pembuatan program satuan pelajaran. Namun pada dataran praksis pengajaran, rumusan itu lebih banyak yang mandul peran dan fungsinya.
Pada sisi lain, senantiasa terjadi pengisapan terhadap kaum marginal dengan selubung suci yang bernama sekolah. Pada aspek ini sekolah telah memainkan peranan sebagai lembaga kapitalisme yang licik.

Pemerintah dan pemilik modal besar adalah pihak yang berada pada sudut manis relasi itu. Sebaliknya, para guru, siswa, dan orang tua berada pada sudut yang pahit. Guru tidak tetap (GTT), guru honorer, atau wiyata bakti merupakan sosok yang berada pada sudut terpahit.

Memang tak bisa disangkal, tak semua pemilik sekolah selalu profit oriented. Tak sedikit sekolah, terutama di kawasan pinggiran kota dan pedesaan, yang didirikan atas dasar kebutuhan riil dan jauh dari orientasi keuntungan material. Justru di tengah-tengah berbagai keterbatasan, para pendirinya selalu berasaha agar sekolah semacam itu tak bangkrut atau ditutup pemerintah.

Tak semua sekolah menjadi candu ataupun kapitalisme yang licik. Namun, pesimisme Margaret Mead masih saja mengema, "Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah.'' (18)