
Tak terlepas dari semua masalah yang ada di Papua, problem
yang lebih krisis di Papua adalah soal "Pembunuhan Identitas Orang
Papua". Dimana sejarah rakyat Papua dianggap alat MAKAR/SEPARATIS oleh
Pemerintah Indonesia. Pemaksaan menerima sejarah Jawa jadi Sejarah Papua, untuk
mengesankan orang Papua tak punya sejarah. Bahkan juga untuk dipandang bahwa orang
Indonesia itu malaikat, penjahatnya adalah Orang Papua.
Nah, tentu proses pemaksaan menerima sejarah Asing ini
memakan kurun waktu yang lama dan juga membutuhkan stategi. Sejarah Asing
dipaksakan kepada rakyat Papua melalui berbagai sisi, dimulai dari Pendidikan
Dasar hingga dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam pendidikan dasar dengan
mewajibkan Upaca Bendera tiap hari senin disekolah dan juga dengan ada
pelajaran "sejarah Jawa" dalam sekolah dasar hingga bangku kuliah
yang berbasis kurikulum.
Benny Giay ketika menulis pengantar sebuah buku sejarah
mengatakan: "Setelah menduduki Papua Barat, Indonesia memperkenalkan
sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima sejarah Indonesia
sebagai sejarahnya, karena terkait dengan semangat Indonesianisasi rakyat
Papua. Maka proses pemaksaan sejarah Indonesia ke atas rakyat Papua
dimutlakkan."
"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."
"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."
Puncak pemaksaan itu terjadi melalui PEPERA 1969. Indonesia
memaksakan jutaan orang Papua melalui beberapa kepala suku. Beberapa kepala
suku dipaksa, memberikan suara bergabung dengan Indonesia.
Sejak tahun 1963, Indonesia menduduki Papua dengan invasi
militer secara besar-besaran. Penentuan Pendapat Rakyat [PEPERA] dilakukan
tahun 1969, peristiwa ini pun penuh dengan terror dan intimidasi. Dimana
seharusnya setiap orang Papua berhak menentukan nasib sendiri, tetapi oleh
Indonesia dirubah menjadi "Dewan Musyawarah", yang memilih hanya 1026
orang dari 800.000 Jiwa orang Papua pada saat itu.
Pembelokan
referendum Papua tahun 1969, sampai pada trikora 1 mei 1963 dan operasi
berdarah pada dekade operasi militer ; DOM. Kepentingan kejayaan pasar sudah
mendirikan bendera mereka di Papua. Satu fakta adanya proses rekayasa demokrasi
orang Papua ialah ketika mata rantai eksploitasi berkibar dengan aman saja di
bumi Papua. Pemaksaan kehendak pemodal di Papua dijalankan dengan tujuan
mengamankan kepentingan restorasi ekonomi. Pemaksaan itu menyebabkan
persoalan status hukum dan politik Bangsa Papua belum selesai. Banyak orang
Papua mulai melakukan perlawanan untuk membebaskan diri dari pemaksaan militer
Indonesia.
Freeport hadir
di Papua tahun 1967 kemudian memaksakan kehendaknya agar PEPERA 1969 harus
dipaksakan berjalan. Maka dikenalah istilah pepera dijalankan dengan perwakilan
1026 orang saja. Alasan utama penyelenggaraan PEPERA dengan metode wakil adalah
dikarenakan kondisi geografis yang sulit dijangkau. Kacamamata ekonomi dan
politik yang saya gunakan dalam tulisan ini membenarkan bahwa pemaksaan modal inilah
yang menjadikan segalanya cacat demi kapitalisme
Maka solusi untuk menyelesaikan masalah Papua adalah, harus
dikembalikan ke tangan rakyat Papua sendiri, menentukan memilih ikut indonesia
atau Papua = Referendum. Tidak lagi berbicara soal Aturan pemerintah Kolonial
Indonesia yang dilakukan sepihak tanpa persetujuan rakyat Papua, karena ini
masih mengingatkan sejarah Pencaplokan Papua.