Militerisasi-Impunitas Penyebab Kehidupan Perempuan Papua Makin Memburuk -->

Advertisement

Militerisasi-Impunitas Penyebab Kehidupan Perempuan Papua Makin Memburuk

Rabu, 29 Juli 2015

Menghadapi berbagai situasi tidak aman di Papua, kita terus diperhadapkan dengan pertanyaan: “Mengapa hingga hari ini kekerasan dan diskriminasi terhadap dalam kehidupan warga sipil, khususnya terhadap Perempuan Papua terus terjadi?”

Reformasi tidak pernah sampai di Papua. Ketika operasi militer warisan Orde Baru mulai berkurang di berbagai wilayah Indonesia, tetapi tidak demikian dengan di Papua. Pendekatan kebijakan pembangunan yang mengedepankan militerisme dan operasi keamanan terus berlanjut dalam meluas. Pendekatan dengan pola semacam ini tidak dihindarkan telah menyebabkan banyak praktik kekerasan dan diskriminasi terhadap warga sipil di Papua,  terus berlangsung hingga hari ini, bahkan semakin meningkat. Yang paling lekat dalam ingatan kita terjadi penembakan sewenang-wenang sejumlah pemuda pelajar oleh aparat keamanan di Paniai pada Desember 2014, dan sampai sekarang belum ada proses pertanggungjawaban hukum apapun terhadap para pelaku. Pendekatan keamanan yang sistematis dan melembaga telah membuahkan pengabaian dalam penegakan hukum di konteks yang lebih luas, termasuk penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam dalam rumah tangga, komunitas; peminggiran akses perempuan terhadap ekonomi-politik; dan maraknya praktik-praktik budaya yang berdampak buruk terhadap perempuan.1

Pendekatan keamanan yang terjadi di Papua hingga hari ini merupakan rangkaian dari operasi militer Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1963:

“Tentara suruh naik truk, cari bapak di hutan. Turun di Distrik Sawoi, jalan kaki di hutan besar batariak, “Bapa ko di mana?” Ditendang, dipukul, sa bilang, “sa sakit, ada anak kecil jangan tendang.”  Mereka tendang kasih siksa saya.… Saya ditendang dari gunung sampai ke bawah, saya lindungi anak kecil agar selamat, saya bilang Tuhan tolong. Sampai di pos, tentara ikat kaki-tangan, 5 orang tentara perkosa sa…”
2

Kutipan pengalaman seorang perempuan tersebut di atas, menjelaskan bagaimana rangkaian operasi keamanan di Papua, telah menyisakan sejumlah pengalaman menyedihkan bagi perempuan Papua. Perempuan dijadikan ‘umpan’ untuk mencari keberadaan ayah/saudara laki-laki/suami yang lari ke hutan, dan jika tidak menemukan lelaki yang dicari, perempuan mengalami kekerasan seksual dari aparat. Melalui tindakan kekerasan seksual, perempuan dibuat tidak lagi dapat bergerak luas dan berani. Sehingga pola-pola semacam ini dapat dinilai dari bagian cari cara militer menghancurkan gerakan perlawanan melalui penaklukan tubuh perempuan. Meski sasaran utama operasi adalah kelompok perlawanan dengan tujuan penghancuran gerakan mereka, akan tetapi operasi juga dengan sengaja disasarkan langusng kepada penduduk sipil dan perempuan sering menjadi target khusus. Pola yang sama serupa ini sering ditemukan ketika militer Indonesia melakukan berbagai operasi di wilayah konflik lainnya seperti Timor Timur dan Aceh.

Pada tahun 2013-2014, Asia Justice And Rights (AJAR) bersama Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua memfasilitasi lingkar diskusi perempuan dalam situasi konflik Papua termasuk pengalaman perempuan dalam kasus Biak Berdarah  menemukan bahwa sebagian besar korban perempuan masih mengalami trauma dan kesakitan yang dialami tidak mendapatkan perawatan ataupun perhatian khusus. Para korban terus terjerat kemiskinan, pelanggaran yang dialami melucutinya dari sumber penghidupan dan perumahan yang layak, tanpa adanya dukungan ekonomi atau pelayanan sosial yang membantu korban untuk menata hidupnya kembali. Setelah luput dari pelanggaran yang dialami, korban perempuan, khususnya mereka yang mengalami kekerasan seksual, kerap kali dikucilkan oleh masyarakat. Para korban perempuan dilupakan keberadaannya oleh negara dan masyarakat. Meski pun demikian, dalam situasi konflik, perempuan tetap mengambil peran menjaga anak dan keluarga serta melanjutkan kehidupan, ketika suami dan para lelaki meninggalkan rumah karena mengungsi atau menjadi sasaran pengejaran dari aparat keamanan.

1. Lihat Laporan Stop Sudah: Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM. Publikasi Kelompok Kerja Pendokumentasian, 2009-2010
2. Dikutip dari Laporan Menemukan Kembali Indonesia; Suara Korban Membebaskan Belenggu Kekerasan Masa Lalu, hal. 156. Publikasi KKPK, 2014