Review Buku: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri -->

Advertisement

Review Buku: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri

Senin, 06 Maret 2017

Hasil penelitian Prof. Pieter J. Drooglever tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”. Judul aslinya “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht.”


featured
Cover Buku Tindakan Pilihan Bebas (Doc: LIPI)

Saat pertama kali diluncurkan pada seminar Act of Free Choice di Den Haag, 15 November 2005, Drooglever menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan Pepera 1969 adalah suatu manipulasi sejarah Orang Papua.

Buku yang diterjemahkan oleh Dr. Johanes Riberu setebal 300 lebih halaman, ternyata laris manis di toko buku terbesar di Jakarta. “Saya heran buku ini bisa habis di pasaran, termasuk Jakarta,” ujar Dr. Benny Giay pada JUBI usai peluncuran buku “Memanusiakan Manusia” belum lama ini di Kotaraja, Jayapura.

Menurut Giay, buku ini sebenarnya berisikan banyak pengalaman Orang Papua saat pelaksanaan Pepera Tahun 1969. Baginya, kalau buku terjemahan Drooglever laris karena kebutuhan pengetahuan pembaca tak soal, tetapi sangat disayangkan jika ternyata diborong oleh institusi tertentu sambil tertawa lepas. “Tapi, yang jelas kitorang harus respon terhadap buku-buku yang memuat sejarah dari Orang Papua,” kata Benny Giay mengingatkan generasi muda Papua untuk terus berkarya dalam meningkatkan kemampuan menulis.

Buku setebal 700 halaman dengan 14 bab merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever pada Tahun 1999 atas perintah Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh Parlemen Belanda. Penugasan kepada Profesor Sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie. Bagi Dr. Karl Phill Erari, ada dua konteks yang mendorong Prof. Drooglever melakukan penelitian.

Pertama, karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999, mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena Rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta. Bahkan (Alm) Theys Hiyo Eluay berkali-kali dalam pernyataan politiknya selalu mengumandangkan perlunya meluruskan sejarah Orang Papua yang telah dibengkokkan dan perlu dilakukan peninjauan kembali.

Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai Pemimpin Indonesia yang lebih demokratis. Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan, sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice itu dapat dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas yang diakui dunia internasional. Ortiz Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. 

Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB, U Thant. Ini berarti ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional.

Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tak pernah dipakai. 

Bab pertama dari buku ini lebih banyak tentang sejarah kontak Orang Papua sampai dengan masa Perang Dunia II. Pokok penting dalam bab ini adalah bagian Barat New Guinea secara perlahan dan pasti masuk ke dalam lingkaran pengaruh kekuasaan pusat kolonial Belanda di Batavia. 

Kepentingan Batavia, yang merupakan ibukota pemerintahan Hindia Belanda bukanlah soal komersial dan keuntungan ekonomi. Sebab pada waktu itu tanah Orang New Guinea dianggap tidak memiliki potensi ekonomi dan kurang menarik bagi sektor komersial. Namun yang menjadi alasan utama keterlibatan Belanda terhadap New Guinea adalah lebih bersifat politik.