.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) pada tahun 1948 telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan
masyarakat dunia. Sekelompok anak bangsa merasa telah menemukan
kebebasan atas penindasan dari anak bangsa yang lainnya, di pihak lain
ada sekelompok masyarakat justru harus mengalami kondisi peperangan
karena negara tempat tinggalnya dianggap sebagai penjahat HAM, khususnya
kepala negara mereka sebagai pemerintahan yang anti HAM, maka atas nama
demi penegakan HAM, masyarakat sipil yang harus menerima akibat dari
politik perang menegakan HAM tersebut, sebagai contoh yang dilakukan
Amerika Serikat terhadap Irak dewasa ini. Apapun dampak dari penegakkan
HAM, banyak masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia berharap
banyak pada adanya pengadilan HAM yang dapat melindungi hak-hak mereka.
![]() |
Sidang Uji Materi Pengadilan HAM (aktual) |
Abstrak
Arus globalisasi HAM telah memberi akses yang luas kepada setiap
masyarakat Indonesia untuk memahami nilai dan konsep perlindungan HAM.
Salah satu bukti terimplementasinya institusi-institusi yang berkaitan
dengan HAM, adalah terbentuknya HAM dalam tatanan sistem kepemerintahan
dan negara Indonesia.
Latar Belakang

Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus global di dunia
internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap
pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya
kesadaran masyarakat internasional mengenai isu HAM ini dalam tempo yang
relatif singkat adalah suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara
secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai HAM.
Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep tatanan dalam
rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun
konstruksi demokrasi berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana
penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan
pelanggaran HAM. Hal ini juga telah membawa perubahan dalam konteks
mekanisme sistem pemerintahan di belahan dunia dalam membentuk
masyarakat yang menaruh penghormatan terhadap nilai-nilai HAM sebagai
kerangka konstitusi pada landasan yuridis yang tertinggi dalam kehidupan
bernegara.
Apa yang terjadi di Indonesia merupakan kasus tersendiri, dimana
penyusunan muatan HAM yang lebih demokratis dalam Konstitusi Republik
Indonesia mulai dilakukan dan dimuat ketika pembentukan amandemen kedua
Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Penyusunan muatan HAM tersebut tidak
terlepas dari situasi sosial dan politik yang ada, seiring dengan nuansa
demokratisasi, keterbukaan, dan perlindungan HAM serta upaya mewujudkan
negara yang berdasarkan hukum.
Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup
dan berkembang di masyarakat sebenarnya dapat ditelusuri melalui studi
terhadap sejarah perkembangan HAM, yang mulai sejak zaman pergerakan
hingga kini, yaitu pada saat terjadi amandemen terhadap UUD 1945 yang
kemudian membuat konstitusi tersebut secara eksplisit memuat atau
mencantumkan pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM.
Tiga konstitusi yang pernah berlaku sejak masa kemerdekaan sebelum
diamandemen (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949) dan UUDS 1950), memuat
pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, yang
disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi
sosial-politik pada saat penyusunannya.
Diawali dengan berakhirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto yang begitu represif selama 32 tahun berkuasa, telah
menimbulkan kesadaran akan pentingnya penghormatan HAM. Euforia atas
sejumlah tuntutan agar dilakukan peradilan tehadap para pelanggar HAM
masa lalu ketika itu kian merebak dan meluas, sementara
pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung dalam berbagai bentuk,
pola dan aktor yang berbeda. Sehubungan dengan itu, wacana untuk
memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan
penghormatan, pemajuan dan penegakan nilai-nilai HAM juga mendapat
respon yang positif dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari
keluarga korban pelanggaran HAM berat.
Sebagai bentuk pelaksanaan dan penjabaran dari amandemen UUD 1945,
Pemerintah dan DPR akhirnya merumuskan suatu peraturan
perundang-undangan khusus di bidang HAM, antara lain yaitu: UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM yang kemudian menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat
peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making policy)
maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang
berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah tentang Peradilan HAM.
Hakekat HAM dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM) melekat pada manusia secara kodrati dan HAM
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang terbaik yang dimiliki oleh
setiap insan manusia di belahan bumi manapun. Hak-hak ini tidak dapat
diingkari begitu saja oleh siapa pun juga. Pengingkaran terhadap hak
prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah, baik negara, pemerintah, atau
organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan
melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal
ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan
tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Di Indonesia, pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28 A
– 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas hukum
internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
(DUHAM) dan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi
dalam bentuk UU seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundang-undangan
Indonesia seperti tersebut diatas, merupakan politik hukum pemerintah
dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung dalam HAM dan
merupakan pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter
kepada sistem pemerintahan yang cenderung demokratis yang mana saat ini
dapat terlihat dengan jelas dari karakteristik produk hukum yang
dihasilkannya. Dalam konfigurasi politik dan produk hukum, sistem yang
demokratis menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsive, yang
dimaksud dengan produk hukum yang responsif adalah: “Produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya
bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau
individu dalam masyarakat.”
Segala peraturan perundang-undangan diatas merupakan produk politik
dimana karakter produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik
yang melahirkannya. Hal ini pula yang menjelaskan bahwa adanya kemauan
pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang
menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh
karena itu, hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan
atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai produk hukum,
merupakan juga hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi, dan bahkan saling bersaingan. Adanya UU tersebut
dikarenakan lahir dari Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
tanggal 8 Oktober 1999. Hal ini tercermin dalam proses pembentukan
pengadilan HAM pertama kali di Indonesia.
Sejarah Pembentukan Pengadilan HAM.
Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil
dalam Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1),
(2), dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini menyatakan bahwa
Pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat,
seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute of the International
Criminal Court”.
Implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah
secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan
perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia
internasional, khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir
bulan Agustus 1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu
ini dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan
dengan terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri
tentang peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat
yang diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan
antar bangsa.
Disini terlihat adanya tekanan dalam dan luar negeri bagi Indonesia
untuk segera membentuk ataupun mendirikan suatu institusi penegak hukum
dibidang HAM untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang terkait
dengan pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Dengan
demikian, Perppu tersebut merupakan solusi untuk memberikan kepastian
bagi masyarkat dan dunia internasional bahwa pemerintah memiliki kemauan
untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM, salah
satunya kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur. Akan tetapi,
keberadaan Perppu tersebut tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya
Perppu tersebut, berbagai polemik telah berkembang di dalam media massa
di tanah air dimana munculnya wacana untuk segera merevisi Perppu ini
mengingat di dalamnya masih terdapat berbagai kelemahan. Karena dinilai
tidak memadai maka Perppu tersebut tidak disetujui DPR untuk menjadi UU
sehingga Perrpu tersebut perlu dicabut.
Pemerintah kemudian mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM dengan
substansi yang lebih komprehensif kepada DPR untuk memenuhi kewajiban
konstitusionalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
Sehingga pada akhirnya pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid UU
tentang Pengadilan HAM yang kita kenal sekarang ini disahkan dan
diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
Adanya politik hukum pemerintah yang bertitik tolak dari perkembangan
hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan
internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang
berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu
dibentuk Pengadilan HAM yang merupakan pengadilan khusus bagi
pelanggaran HAM yang tergolong berat. Oleh sebab itu, untuk
merealisasikan terwujudnya Pengadilan HAM tersebut maka perlu dibentuk
UU tentang Pengadilan HAM agar memiliki dasar hukum yang kuat. Dasar
pembentukan UU tentang Pengadilan HAM ini adalah sebagaimana tercantum
dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999.
Adapun pembentukan UU tentang Pengadilan HAM di Indonesia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
- Pelanggaran HAM berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur didalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immaterial perseorangan maupun masyarakat sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai perdamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
- Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Ham yang berat adalah:
- Diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;
- Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP;
- Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
- Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM yang berat.
Pengadilan HAM Pertama di Indonesia
Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM, maka Presiden Abdurrahman Wahid kemudian
menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.
53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 April 2001.
Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1)
UU Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat
yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa
Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat
dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada
tahun 1984.
Belum sempat dilaksanakannya Keppres tersebut, pada awal masa
kepresidenan Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami
revisi, yakni dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Keppres No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang
mengalami perubahan dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan
waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM berat
yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok, yaitu penambahan kalimat
wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan
September 1999 untuk kasus Timor Timur serta bulan September 1984 untuk
kasus Tanjung Priok.
Dalam kaitan tersebut, dapat terlihat adanya politik hukum dari kedua
rezim untuk melaksanakan proses penegakan hukum bidang HAM pada suatu
institusi peradilan melalui diterbitkanya Keppres-keppres pembentukan
Pengadilan HAM. Sehingga, disini terlihat bahwa konfigurasi politik
tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu juga
(terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc).
Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. Bagir
Manan, SH, MCL meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang pertama di
Indonesia sebagai salah satu pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000, yaitu
bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pengadilan HAM
bukanlah badan peradilan baru atau badan peradilan yang berdiri sendiri
yang terlepas dari keempat badan peradilan yang selama ini kita ketahui
(Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata
Usaha Negara). Pengadilan HAM hanyalah salah satu divisi atau bagian
dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan badan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13
UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun
1999 seperti Pengadilan Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada
perbedaan yang mendasar dengan pengadilan lain, baik yang berada dalam
kamar Pengadilan Niaga atau Pengadilan TUN, dimana Pengadilan HAM tidak
sepenuhnya bergantung kepada hakim karier, melainkan pada hakim
nonkarier (hakim ad hoc) yang merupakan mayoritas dalam majelis hakim.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali,
Pengadilan HAM tersebut dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya,
Medan dan Makassar, dengan wilayah hukumnya sebagai berikut:
- Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
- Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel, Kaltim, NTB dan NTT;
- Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
- Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor Timur dan
Tanjung Priok seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua, Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, Kerusuhan Massa di berbagai tempat di
Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban Pengadilan HAM untuk
memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan.
Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan
pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program
strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa
Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem
hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal
ini merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya
mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan
didasari adanya pengaturan mengenai HAM karena konfigurasi politik
tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD 1945, yang kemudian diatur
dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan HAM itu sendiri.
Penutup
Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM
yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu
telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat
untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang
bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh
penguasa.
Dengan demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa UU No.
26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perppu No.1 Tahun 1999 tentang
hal yang sama maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam
penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai
berikut:
Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia
sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Hal ini
juga merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta
yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur
mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik
Indonesia.
Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
dan sebagai tindak lanjut dari UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka
segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.
Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan
dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan
Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan
kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
Indonesia perlu membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang
mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen
dalam menangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ini penting
untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang
dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya
merevisi perundang-undangan dibidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM
dan Pengadilan HAM. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum,
maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang
responsif.
Sementara itu dalam upaya menutup masa lalu dan menyongsong masa depan
yang lebih beradab, tenteram, sejahtera dan damai, ada baiknya mencontoh
apa yang telah dilakukan oleh Afrika Selatan dalam melaksanakan program
rekonsiliasinya. Suatu negara yang pernah teraniaya oleh bangsa kulit
putih melalui sistem Apartheidnya, kini dapat hidup berdampingan dengan
mengubur permasalahan masa lalu sedalam-dalamnya dan menjadi bangsa yang
besar. Rekonsiliasi merupakan alternatif proses penyelesaian
permasalahan HAM melalui pemberian pengampunan.
Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan dilakukan oleh suatu komisi yaitu
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini memiliki tugas dan
wewenang antara lain memberikan pengampunan bagi tindakan-tindakan
politik tertentu yang telah dilakukan oleh organisasi politik atau
anggota dinas keamanan dalam tugas dan kewajiban mereka. Komisi ini juga
dapat memanggil orang dan memeriksa dokumen dan artikel sebagai usaha
mendapatkan kebenaran. Selain itu juga menyusun identitas para korban
dan membuat proposal pemulihannya, serta memberikan amnesti, ganti rugi,
kompensasi dengan bantuan dana dari pemerintah. Bangsa Indonesia dapat
berbuat hal yang sama dengan Afrika Selatan sehingga dapat membangun
bangsa dan Negara secara bersama-sama menjadi salah satu bangsa yang
besar di mata masyarakat internasional.
Daftar Pustaka
Arinanto, Satya. “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”. cet. II. Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Laporan Akhir Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timir (KPP-HAM) Jakarta: 31 Januari 2001.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. cet. II. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2001.
Indonesia.Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39. LN No. 165 Tahun 1999. TLN No. 3886. Pasal 1 angka 1.
_______ Undang-undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU No. 26. LN No. 208 Tahun 2000. TLN No. 4026. Pasal 1 angka 3.
________. Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keppres No. 53 Tahun 2001. Bagian Menimbang butir a.
________. Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres No. 96 Tahun 2001. Bagian Menimbang butir a.