Barcode Media Antara Bebas dan Terkekang -->

Advertisement

Barcode Media Antara Bebas dan Terkekang

Senin, 06 Februari 2017


Pada 9 Februari 2017 mendatang ini Media yang resmi menurut Pemerintah dan Dewan Pers akan diberi tanda khusus dengan "Barcode". Penggunaan barcode ini menurut Dewan Pers melalui keterangan persnya pada 12 Januari 2017 bahwa, untuk masyarakat bisa membedakan media "asli" dan "palsu".
Pembedaan media asli dan palsu ini untuk melawan informasi "HOAX" alias "BOHONG" yang beredar begitu cepat di masyarakat melalui sosial media. Selain itu pembedaaan ini juga untuk membredel konten-konten yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Perang melawan informasi bohong ini tentu diapresiasi, tetapi juga terkesan untuk mengengkang kebebasan pers dan juga kegagalan Pemerintah dan juga Dewan Pers mengawal capaian reformasi 1998 yang telah melahirkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pembedaan media asli dan palsu sangatlah dilematis, khususnya dalam memberitakan informasi dari daerah pelosok-pelosok Indonesia. Misalkan di Papua, ada 8 perusahaan media yang semuanya belum terverifikasi taktual dan administrasi menurut data dewan pers (diaskes pada 6 Februari 2017). Mengapa di Papua barcode jadi masalah? sebab Papua 3 kali lebih dari pada Pulau Jawa yang memiliki ratusan media, dan Papua yang penuh dengan sejarah kekerasan Negara yang terus berlanjut. Salah satu kasus soal pemberitaan Papua versi Jakarta terkait penembak 4 orang pelajar SMA oleh TNI/POLRI, selama 2 hari sejak kejadian media terferikasi di jakarta justu mewawancarai pihak aparat dan informasinya jadi sangat menyakitkan bagi korban.

Tentunya masih ingat dalam pikiran kita tentang sejarah pers pada masa Orde Baru, kondisi yang sangat terpuruk dan terkekang bagi kebebasan pers, hal itu salah satunya adalah adanya Surat Izin Untuk Penerbitan Pers atau lebih sering disebut SIUPP. Setiap media masa pada saat itu wajib memliki SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dan jika tidak memiliki izin tersebut, sudah dipastikan media tersebut tidak akan hidup. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.

Reformasi 1998 telah melahirkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang dianggap lebih berpihak kepada kebebasan pers. Hal ini ditunjukan dengan dihapusnya sistem pendaftaran atau izin (SIUPP). Hal tersebut membangkitkan gairah publik dengan kebebasan pers, sehingga dari puluhan perusahaan pers di masa Orde Baru, saat ini menjadi ribuan perusahaan pers. Dan harus diakui ada beberapa oknum yang mengatasnamakan pers namun tindak tanduknya tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, namun apakah hal tersebut menjadi rujukan bahwa Indonesia akan kembali pada sistem terdahulu?

Selain itu juga, sebagaimana UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 15 ayat 2 poin f tentang Dewan Pers, bahwa Dewan Pers berfungsi untuk mendata perusahaan pers, bukan menentukan sebuah perusahaan pers tersebut boleh terbit atau tidak.

Berita “bohong” memang penumpang gelap dari kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dan tentunya juga sebagai musuh bersama yang harus diatasi. Namun, mengarahkan publik kepada sumber informasi yang “bukan mainstream” harus dicurigai sebagai hoax adalah sikap yang juga membahayakan demokrasi karena publik diarahkan hanya percaya kepada “media mainstrem”. Karena bukan tidak mungkin, melalui medai mainstream itulah kekuasaan menyelundupakn kepentingan hegemoninya.

Pemerintah dan Dewan Pers sebaiknya selektif dalam menentukan sistem pembenahan media massa dan harus menjaga nilai pilar keempat demokrasi. Dan yang tak kalah pentingnya juga bahwa pemblokiran yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah harus dilakukan dengan sistem yang adil dan transparan, agar tidak ada hak asasi yang terampas.